#PARE(tidak)JAHAT

Ilma Wahid
Chapter #14

Asal Muasal Surat Galang

Aku benar-benar frustasi. Bukan hanya kesulitan belajar yang menyulitkanku. Tapi juga tekanan mentalku mulai memburuk. Menyadari aku sudah menjadi cobaan maha berat untuk tutor-tutorku. Ternyata penerimaan kepada diri sendiri dan putus asa bisa tipis sekali jaraknya.

Di materi grammar sudah berkali-kali diadakan exercise. Berkali-kali itu juga teman-temanku berpesta ria dengan soal-soal sainsnya bahasa. Sementara aku, setiap itu pula selalu mendapat hasil paling buruk. Jika standarnya 60 maka nilai paling tinggiku 40. Tidak ada yang namanya nilai upah menulis seperti di sekolah. Sebab kami belajar untuk mendapat skill. Tapi Mr. Gaza tidak pernah lupa memberikan motivasi semangat. Motivasinya untuk aku selalu paling panjang dibanding yang lain.

Rasaku di kelas ini, hanya aku yang benar-benar mengujinya sebagai seorang guru.

Begitu kelas grammar berakhir. Saatnya menggunakan jam istirahat siang dengan sebaik-baiknya. Entah pulang ke camp, memasak mie, mencuci baju, berburu makan siang yang murah atau tidur-tiduran di kelas.

Tapi bahkan ketika kelas berangsur sepi. Menyisakan beberapa orang yang bersiap-siap tidur siang. Aku masih terpekur meratapi hasil soal grammarku. Masih sama, nilai brutal dan hatiku hancur lebur.

“Jangan lupa istirahat.” Mr. Gaza mengejutkanku. 

Rupanya beliau melihatku dari teras melalui jendela kelas yang kacanya terbuka lebar.

Kujawab dengan senyuman pahit. Suaraku hilang di tenggorokan. Tertelan tangis yang sebentar lagi pecah.

“Gak makan Alan?” Aku tahu Mr. Gaza masih berbasa-basi.

Aku tersenyum dan menggeleng.

“Gak tidur juga?” Mr. Gaza tertawa kacil.

Senyumku semakin pahit.

Mr. Gaza berjalan menuju mejaku. Bersila di seberang meja. “Aku tahu perasaan kamu.”

Aku tersenyum kecut. Kata pujukan yang sangat meinstrim. Bagaimana Mr. Gaza akan paham? Benarlah kata orang bahwa orang diluar masalah selalu lebih bijaksana. 

“Jangan frustasi. Bawa santai saja.”

“Santai gimana? Orang sebodoh aku belajar sungguh-sungguh pun belum tentu berhasil,” bantahku.

“Tidak ada yang benar-benar pintar di sini. Semuanya sedang belajar.”

“Tapi tidak ada yang benar-benar bodoh seperti aku.”

“Kamu itu gak bodoh.”

Aku tertawa frustasi. “Terus apa namanya?”

Mr. Gaza terlihat memikirkan sesuatu. Mungkin mencari kata yang pas untuk membahasakan ketololanku agar tidak terdengar bodoh.

“Hm … kamu itu unik,” ucapnya dengan sungguh-sungguh. 

Rupanya di mata seorang guru yang sabar, siswa yang bodoh menjelma menjadi siswa yang unik.

“Pernah nemu member seunik aku sebelumnya?”

“Pernah.”

“Pasti sangat menjengkelkan?” 

“Kamu harus percaya, kamu tidak bodoh. Pasti di sisi lain kamu punya hal yang tidak dimiliki orang lain?”

“Aku tidak mempunyai kelebihan.” Aku tertawa.

“Kamu suka menulis kan?”

Aku melongo. “Bagaimana Sir tahu?”

Dia tertawa kecil. “Aku memang harus tahu pelajarku. Aku baca CV-mu di lembaga dari berkas wawancara.”

Aku hanya diam mendengarkan. Mungkin hanya itu kelebihanku, yang kujual saat wawancara, prestasi menulis

Mr. Gaza tertawa kecil. “Ayoklah jangan menyerah. Aku sendiri gak nyerah kok ngajarin kamu.”

“Terimakasih sudah baik Sir.” 

Lihat selengkapnya