Aku berusaha menjalani hidupku dengan bahagia. Jika tidak bisa secara jujur. Setidaknya aku bisa berpura-pura. Tidak boleh lagi teman-temanku melihat kesedihanku. Terutama memandangku sebagai pesakit. Meski kepura-puraan seperti ini tetaplah memiliki sisi tidak menyenangkan.
Aku sedang menjalankan rencanaku, jatuh cinta pada grammar. Ketika secara tidak sengaja hatiku juga jatuh cinta pada si Master-nya di kelas ini. Namanya Timor, dia adalah bintang Timur di kelas ini.
Timor berasal dari Jayapura. Lulusan cumlaude dari salah satu universitas terkenal di Yogyakarta. Selain sosoknya yang mengingatkanku pada artis K-Pop, aku suka sikapnya. Lincah, periang, gampang tertawa dan baik sekali. Terkadang juga sok imut dan cerewet. Terutama di kelas grammar, suaranya selalu nyaring, kritis, bertanya ini dan itu pada Mr. Gaza. Lalu mencerocos menjawab ini dan itu pertanyaan kami yang belum paham. Pemahaman Timor pada grammar selalu berlangkah-langkah lebih depan dari yang lain.
Ketika aku merasa sudah cukup berusaha untuk jatuh cinta pada grammar. Tapi ternyata jatuh cinta saja tidak cukup. Tetap harus bermodal logika yang lancar. Sepertinya itu yang tidak kumiliki. Lihat, soal-soal grammar yang kuhadapi sekarang. Terasa menertawakanku.
“Gimana Alan?” Timor yang duduk di sampingku mengagetkan.
Kubalas dengan gelengan kepala. Tersenyum pahit.
“Jadi gini,” ujarnya sabar menghadapi ketololanku. “Pelan-pelan saja. Kerjakan sampai yang kamu bisa. Misal cuma bisa analisis kelas kata sampai jenis phrasa-nya saja. Kerjakan saja sampai di sana. Jangan takut salah. Justru dengan salah, kita bisa belajar.”
“Timor, Alan, ini ujian ya. Bukan kerja kelompok.” Suara Mr. Gaza mengagetkan kami.
“Aku gak bisa tunjukin sekarang. Tapi habis kelas kita belajar bareng,” bisik Timor.
Maka seperti saran Timor, kukerjakan soal-soal ujian itu semampuku. Menganalisis kelas kata. Menetukan yang mana modifier dan head untuk menetukan jenis phrasa-nya. Itulah alasan kenapa bahasa Inggris sering kita anggap kacau atau terbalik-balik jika dibahasa Indonesiakan. Rupanya bukan asal terbalik saja. Contoh sederhananya bukan cake sweet tapi sweet cake.
“Time is over!,” ujar Mr. Gaza kemudian.
“Sir, dikit lagi,” rengek Zen.
Mr Gaza tersenyum. “No ….” Sembari menggeleng kepala. “Oke teman-teman, silahkan tukaran buku dengan teman-teman di samping.”
Saat ini posisi dudukku, sebelah kirinya Zen dan di sebelah kiriku adalah Timor. Sebelah kiri Timor adalah pintu masuk kelas. Meja belajar untuk dua orang ini kami susun sambung menyambung hingga membentuk U. Untuk masuk di kolong antara meja dan dinding, biasanya meja itu digeser sedikit untuk memberi sedikit celah. Kalau mau cepat, tinggal langkahi saja. Seperti yang sering kami lakukan, jika tutor belum ada.
“Aku mau dong meriksa buku Timor.”
Zen akhir-akhir ini semakin centil saja terutama pada Timor.
Maka buku Timor diperiksa oleh Zen. Buku Zen diperiksa olehku. Bukuku sendiri diperiksa oleh Timor.
Mulailah Mr. Gaza mendikte jawaban yang benar, yang seharusnya kami tulis. Tidak cukup asal menjawab. Harus ada alasan dan analisis.
“Sateng, kamu periksa buku siapa dan betul berapa?” Mr. Gaza memandang Sateng yang duduk di meja paling ujung. Posisinya berhadapan dengan mejaku dan Zen.
“Hamdi Sir, betul 10,” jawabnya.
Terlihat Hamdi tersenyum kecut. Mengucek rambutnya yang keriting. Betul 10 berarti hanya 50%. Sebab keseluruhan soal ada 20.
Absen nilai terus berjalan. Seperti sederet kartu remi yang dirobohkan. Sambung menyambung hingga sampai kepada Zen yang duduk di samping kananku.
“Punya siapa Zen?’
“Timor, salah satu.”
“Alan?”
“Zen, salah satu.”
Sebuah peningkatan. Hari ini aku sudah ikut memeriksa jawaban.
“Cie, deretan calon tutor grammar,” goda Hamdi.
Setelah 14 nilai orang yang terkumpul. Belum ada yang melampaui 15 poin betul. Kecuali Timor dan Zen.
“Kalian semua calon tutor grammar. Hanya saja mereka sepertinya sehati,” canda Mr Gaza.
“Iya, calon pasangan tutor idaman.” Zen terbahak oleh idenya sendiri.
“Apa sih kaleng kerupuk?” sewot Timor pada Zen.
“Kamu tadi manggil aku apa, cireng?”