#PARE(tidak)JAHAT

Ilma Wahid
Chapter #19

Kehidupan Berubah

Semakin jatuh cinta saja aku pada bahasa Inggris. Mr. Yulanda memberikan kami tugas merekam suara setiap hari. Berbicara dalam bahasa Inggris tentang tema yang dia berikan pada setiap malam di grup WA. Hal itu selalu kulakukan dengan senang hati. Bahkan aku tidak hanya membicarakan tema-tema yang diberikan. Tapi menambahkan tema sesuka hatiku dengan rekaman ataupun tanpa direkam. Apapun yang kulihat. Ketika berjalan aku melihat langit, aku akan mendeskripsikannya kedalam bahasa Inggris. Ada juga bunga, pohon, rumput, jemuran baju, awan bahkan makanan sebelum kumakan.

Aku juga mulai mencintai grammar. 

Berbanding terbalik dengan keadaan teman-temanku sekarang. Satu persatu dari mereka jatuh sakit. Ada yang badannya panas, menggigil, matanya memerah, kambuhnya penyakit lama dan berbagai bentuk yang lain.

Semua bentuk penyakit yang terlihat, kusimpulkan bahwa mereka terkena dampak culture shock. Mengingat begitu padatnya jadwal setiap hari. Dari bangun tidur jam 03:30 sampai tidur lagi menjelang dijam tersebut. Kami seperti tidak ingin membuang satu menit pun dengan sia-sia.

Permintaan izin tidak masuk kelas adalah hal biasa di hari-hari ini. Seperti kelas grammar kami pagi ini.

“Teman-teman sudah ada tiga orang yang sakit. Apalagi Hamdi sudah tiga kali tidak masuk. Kasihan dia tertinggal jauh. Kalian tahukan seperti apa belajar grammar.” Wajah Mr. Gaza terlihat keruh.

“Seharusnya nanti siang kita final test. Tapi saya tunda. Semoga besok semuanya bisa hadir.”

 Pertama kalinya kelas heboh kami menjadi sepi. Apalagi diantara yang izin sakit itu adalah Zen. Teman sejatiku itu yang bangga sekali menyandang gelar Kaleng Kerupuk.

“Semoga besok sudah pada membaik. Aku tidak mau ada yang sakit. Bukan menentang kehendak Tuhan, tapi benar-benar ber do’a dan memohon pada-Nya.”

Pagi itu seluruh anak kelas grammar B berdo’a bersama. Do’a yang berbeda dari hari sebelum-sebelumnya. Lebih panjang dan dipimpin oleh Timor. Do’a khusus untuk yang sakit.

Sebelum Mr. Gaza meniggalkan kelas. Aku mengejar langkahnya. 

“Sir, boleh minta tolong.” Aku menatapnya ragu.

“Ya, gimana?” Mr. Gaza menatapku antusias.

“Kelas kan lagi libur. Tapi aku merasa, orang seperti aku tetap harus belajar Sir.”

Aku sudah berdamai dengan keadaan. Tidak lagi menanyakan kenapa aku sulit mengerti. Jawabannya sederhana, karena aku lebih bodoh. Yang rumit adalah menerima jawaban dari diri sendiri. Dan aku tidak mau membuat masalah ini lebih rumit. 

“Boleh, sangat boleh.” 

“Kapan dan dimana Sir?”

Sejenak dia berpikir. “Sekarang saya mau ke office. Bagaimana kalau jam belajar kita seperti biasanya kalian ke office?”

“Tidak mengganggu waktunya Sir?”

Aku hanya khawatir membebani jadwalnya yang sibuk. Selain mengajari member TC, Mr. Gaza tetaplah punya jadwal mengajar untuk member reguler.

“Tentu tidak.”

Mr. Gaza berlalu dengan sepeda merahnya. Kurasa hanya di Pare dari seluruh Indonesia yang menyerupai luar negeri. Bukan dari bahasa, tapi dari kebiasaan memakai sepeda. Baik penduduk, tutor dan pelajar.

Maka yang terjadi adalah kebanyakan anak kelas Grammar B pulang ke camp untuk istrahat. Mengingat luangnya waktu kosong sebelum kelas terakhir, kelas Speaking. Tapi berbeda denganku. Keadaan ini tidak ada bedanya. Sebab aku ada pertemuan khusus dengan Mr. Gaza. Aku memutuskan untuk tetap tinggal di kelas bersama dengan sebagian kecil yang lain. 

“Hil, nanti aku ada kelas khusus dengan Mr Gaza ….”

Informasi yang ingin kubagi tidak tersampaikan dengan sempurna. Karena Hilda sudah menjerit diluar perkiraanku. 

“Wow, kelas khusus. Tidak cukupkah perhatian khusus. Oke, ceritakan! Sekhusus apa hubunganmu dengan Mr. Gaza!”

Sebenarnya sudah beberapa kali Hilda menggodaku. Menjodoh-jodohkan aku dengan Mr. Gaza. Hanya karena Mr. Gaza memberi perhatian lebih kepada kelambatanku otakku memahami penjelasan grammarnya. Sepertinya Hilda hanya tahu heboh, tapi tidak bisa membedakan antara cinta dan prihatin.

“Hil kamu tahukan aku sangat bodoh di kelas Mr. Gaza.”

“Dan juga sangat spesial,” potong Hilda cepat. 

“Kamu mau dak?!” Aku mengabaikan ejekannya.

Hilda tampak berpikir serius. “Baiklah. Aku juga mau belajar. Kebodohan kita kurang lebih sama. Meski tidak sama-sama diperlakukan dengan bodoh.”

Bukan tidak mengerti sindirannya, tapi aku memilih diam saja. Cukup puas karena dia mau menemaniku. Aku masih beranggapan bahwa teman-temanku yang lain belum bisa memahamiku dengan baik keterbelakangan otakku ini.

Lihat selengkapnya