Hari selanjutnya sesuai intruksi. Akhirnya semua kelas diliburkan. Kami terkurung di camp dengan penjaan yang ketat. Setiap akan keluar harus dengan alasan yang jelas. Sebagai solusi makanan, yang biasanya cukup beli nasi bungkus di warung-warung. Sekarang berganti dengan memasak. Kami memasak untuk seluruh member di camp. Tidak boleh ada perkumpulan. Pembelajaran di kelas offline sudah berganti ke kelas online. Kecuali program camp.
Sesudah shalat magrib, kami tetap melakukan program camp. Bedanya, sekarang Ms. Rindu selalu menambahkan dengan nasehat baru.
“Saya sudah membeli jamu-jamuan. Mohon kakak-kakak memperhatikan ini. Apa salahnya tinggal minum.”
Salah satu kegiatan baru kami, meramu jamu. Membagikan dan meminumnya secara rutin.
“Alan, malas banget minum jamu,” sindir Hilda kepadaku.
Semua mata memandang. Aku salah tingkah.
“Iya, jarang banget lihat Mbak Alan minum jamu.”
Semua mata semakin tajam saja rasanya.
Haruskah kukatakan bahwa aku puasa Daud. Kenapa puasa Daud? Nazar agar lulus beasiswa. Aku belum siap untuk dibuli.
“Iya, lain kali akan minum,” jawabku berusaha sekalem mungkin.
“Kita semua tidak suka dengan kehidupan seperti ini,” kata Ms. Rindu lagi.
Kami semua mengangguk setuju. Siapa yang suka jika semua aktifitas dari bangun tidur sampai tidur lagi hanya sebatas camp. Hidup di anatara tujuh kamar tidur, tiga kamar mandi, satu aula, tempat jemuran, parkiran sepeda, dapur kecil, rak sepatu dan tong sampah.
“Dan sekarang keputusan baru telah dikeluarkan lagi.”
“Apa itu Memo?” tanya Hilda.
“Berat sebenarnya pihak lembaga menyampaikan ini.” Wajah Ms. Rindu memelas.
Meskipun sudah terbiasa dengan kejutan-kejutan perubahan. Tetap saja tidak mengurangi antusias kami untuk setiap keputusan yang baru dibuat. Mengingat ketidak jelasan sampai kapan kami terpenjara di sini.
“Pihak Lembaga meminta kakak-kakak agar segera bersiap-siap pulang ke kampung masing-masing.”
Sulit dipercaya, meskipun sudah sering diprediksi. Akhirnya terjadi juga. Tidak ada lagi harapan mempertahankan kami di camp, sementara corona kian mengganas.
“Harus pulang Memo?” Pertanyaan itu meluncur dari beberapa mulut.
“Sebaiknya pulang. Bukan karena apa? Karena office tidak akan beroperasi lagi. Bagaimana jika terjadi hal buruk?”
Pertanyaan dan pernyataan itu mengambang di langit-langit.
“Tidak masalah jika memang memutuskan bertahan di sini. Tapi harus menandatangani surat perjanjian bahwa kakak-kakak bertanggung jawab atas diri kakak sendiri. Surat kontraknya nanti saya bagikan ke grup WA.”
Sampai pertemuan itu selesai. Belum ada di antara kami yang benar-benar mantap hatinya untuk pulang. Untungnya pihak lembaga memberikan kami waktu tiga hari untuk memikirkan ini.
Selama tiga hari itu pula tidak ada ketenangan. Apalagi aku. Terkenang betapa sulitnya untuk ke sini. Penghematan yang mati-matian. Biaya pulang ke Riau dari Kediri bukan hal mudah bagi orang sepertiku.
Di kamar kami.
“Mbak pulang gak?” Nafa bertanya dalam bahasa Indonesia.
Kepanikan dan kebimbangan ini membuat kami melupakan peraturan wajib berbahasa Inggris, sebagai norma yang dijunjung tinggi.
“Belum tahu.” Aku menggeleng lesu.
“Aku loh Mbak. Malas banget pulang. Kalau di rumah, gimana aku membiasakan pakai bahasa Inggris.” Nafa memelas.
“Nah, itu dia!” seruku.
“Kurasa semua masalah kita sama.” Cacun menengahi.
Ah, bahkan masalahku lebih kompleks dari sekedar tidak punya teman berbahasa Inggris di rumah. Bagaimana dengan biaya perjalananku. Bagaimana jika nanti aku tidak diizinkan kembali ke sini. Bagaimana jika aku membawa virus di kampungku yang masih bersih. Apa kata masyarakat? Bagaimana dengan orang tuaku yang telah berusia lanjut. Kondisi yang sangat rentan, serentan posisiku menggandeng mahluk kecil itu dari tempat-tempat umum yang kulewati. Kediri ke kampungku, di pelosok Riau bukanlah perjalan yang dekat.
“Aku mau nangis.” Akhirnya hanya kata itu yang kukatakan.
Kujatuhkan kepalaku yang berdenyut ke bantal. Menangis. Kurasakan elusan halus di pundakku.
“Aku juga mau nangis Mbak.” Bukannya membujuk, Nafa ikutan terisak. Cacun hanya diam. Matanya sendu.