"Hai......Den! Sini!" Teriakku memanggil Deni yang celingak-celinguk di pintu masuk kafe. Senyumnya pun mekar bak kue mangkuk keluar dari kukusan begitu melihat keberadaan kami. Berjalan ke arah kami dengan langkah gemulainya seperti biasa. Yang tak biasa tangannya tampak menggandeng seorang perempuan.
"O.....o, lihat apa yang dipancing teman kita dari lautan," ujar Rico. Pandangan matanya tak lepas dari sosok di samping Deni. Beberapa teman lain menimpali dengan suitan.
Sebenarnya biasa saja ada beberapa di antara kami membawa perempuan saat kumpul-kumpul seperti sekarang ini. Tapi Deni? Yah, setahu kami Deni punya masalah disorientasi seksual. Seringkali dia bilang bahwa telah terlahir dengan kondisi salah cetak. Itulah sebabnya reaksi kami mungkin jadi berbeda.
Deni terlihat sedikit jengah, tapi perempuan di sampingnya nampak santai saja, jemari di tangan kanannya menggenggam erat pergelangan tangan kiri Deni, seakan mau meyakinkan si empunya tangan dia tak mengapa. Kurasa dia perempuan yang istimewa, setidaknya sudah tertempa secara mental. Perempuan kebanyakan akan kehilangan rasa percaya diri jika menghadapi situasi yang sama.
"Duduk sini, Den!" Sam menepuk sofa kosong di dekatnya, dengan gerakan tangan menyuruh Rico pindah tempat duduk, agar Deni dan perempuan itu bisa duduk berdampingan. Sekarang aku bisa melihat lebih jelas wajah perempuan itu. Tidak terlalu cantik, sedikit di atas rata-rata. Tapi bentuk tubuhnya bagus, dan rambutnya yang sebatas leher, berikal , tampak begitu pas jatuh di wajahnya yang tirus.
"Oke, apa kalian sudah cukup menilai penampilanku? Jadi berapa nilai yang pantas kudapat?" Tanpa disangka perempuan itu memulai pembicaraan. Suaranya sedikit serak, tapi terdengar menyenangkan. Ahh, ternyata bukan hanya aku yang memperhatikannya.
"7 dari 10, Nona.....?" Rojas, si keling blasteran Sunda India, menjawab sekaligus bertanya.
"Cleo. Kesayanganku, Cleo," Deni yang menjawab seraya mencium lembut pipi kiri perempuan yang dipanggilnya Cleo. Suitan terdengar lagi, entah siapa pula. Dengan datangnya Deni dan Cleo, sekarang ada 16 orang yang berkumpul di pojok salah satu kafe dekat dermaga yang sudah kami booking untuk menghabiskan malam minggu. Ini ritual rutin kami, para dewa dapur, begitulah kami menjuluki diri sendiri. Ya, kami adalah sekelompok juru masak kapal. Semuanya laki-laki. Bukannya kami anti perempuan, tapi memang kami belum pernah bertemu juru masak kapal berjenis kelamin perempuan. Bila pun ada, mungkin enggan bergabung dengan kami. Atau bisa jadi mereka juga punya perkumpulan sendiri.
Aku tak ingat awal mula kelompok kami terbentuk, tak ada sejarah khusus, tahu-tahu kami terkumpul karena kesamaan pekerjaan. Aku termasuk yang bergabung di awal. Sam secara aklamasi ditunjuk jadi ketua, karena dialah yang paling tua di antara kami. Dan itulah satu-satunya jabatan yang ada di kelompok ini.