Pukul dua belas malam, Cleo tiba-tiba bergegas pergi bak Cinderella yang ingat harus pulang sebelum gaun indahnya berubah rombeng. Deni tersaruk-saruk mengikutinya bagai pangeran mabuk. Kami kira Deni mengantar Cleo pulang. Tapi ternyata dia sudah balik lagi ke tempat kami tak berapa lama kemudian.
"Kamu tak mengantarkannya pulang?" tanya Sam heran.
''Cleo? Dia itu bukannya mau pulang, tapi mau kerja. Aku tak mungkin mengantarnya kerja," jelas Deni terlihat kesal.
"Kerja? Pukul duabelas malam?" tanyaku tak bisa menyembunyikan keheranan. Deni mengangguk mantap. Wajahnya berubah terlihat serius.
"Cleo itu lulusan Gang Dolly, tau'. Bisa dibilang ya, dia lulusan terbaik. Semenjak Dolly ditutup, Cleo meniti jalur freelance." Entah apa yang dimaksud Deni dengan jalur freelance. Cara Deni mengatakannya seolah Dolly itu setara dengan Oxford University. Sepertinya dia tak memperhatikan reaksi teman-teman yang memandangnya sambil mengernyit. Aku sendiri jadi bertanya-tanya, apa standar penilaian untuk jadi lulusan terbaik Gang Dolly?
"Aku penasaran, di mana kau bertemu dengan Cleo pertama kalinya?" Rojas bertanya sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Ahh, itu......," Deni tampak tersipu, entah karena ingatan pertemuannya dengan Cleo, atau kedipan mata Rojas (maaf, tapi masih sulit bagiku membayangkan sosok Deni sebagai lelaki seutuhnya).
"Kalian pasti tak menyangka, kami bertemu di Gereja."
Dari sekian banyak tempat, kurasa memang tak ada di antara kami menduga mereka bertemu di Gereja.
"Yaaah, memang bukan untuk beribadah kami di Gereja waktu itu. Aku ini muslim, Cleo.....," Deni tampak bingung. "Ehh, aku tidak tahu agamanya apa, nanti aku tanyakan," lanjut Deni santai. Sepertinya soal agama bukanlah sesuatu yang harus dirisaukannya.