Gelap mulai menggantikan temaram, acara malam minggu kami masih berlanjut. Ada tempat yang sangat nyaman untuk bersantai di sana. Disediakan beberapa bantal besar yang enak buat duduk selonjoran atau rebahan sambil menikmati indahnya bintang-bintang yang bertaburan di langit. Kami memilih berkumpul di tempat itu.
Sebisa mungkin aku menjaga jarak dengan Lily. Bukan kenapa-kenapa. Berdekatan dengan Lily, apalagi cuma berdua, bisa membuatku jantungan. Aku juga bingung mau ngomongin apa. Sepertinya aku perlu menata hati dan menguatkan mental sebelum melangkah lebih jauh. Lagi pula teman-temanku, para dewa dapur mulai berdatangan, dengan sendirinya menciptakan jarak antara kelompokku dengan Lily dan teman-temannya. Bahkan Rojas dan Rico yang sedari tadi menyeberang ke kubu para perempuan, sekarang sudah kembali ke habitatnya sendiri. Hanya Deni dan Cleo yang memisahkan diri dari kelompok masing-masing. Mereka lebih memilih berduaan di dekat pagar atap. Biarlah, kami maklum saja. Namanya juga sedang jatuh cinta, dunia punya mereka.
"Haduuuuh, pening juga lama-lama dengan para perempuan itu, ceriwisnya kayak Radio Republik Indonesia," ucap Rojas sambil cengar cengir.
"Uhmm, mereka juga sedikit-sedikit main cubit. Aku serasa berenang bersama sekumpulan piranha di sungai amazon," imbuh Rico. Yang diomongin sekarang sedang tertawa-tawa. Entah apa yang mereka omongkan, hanya terkadang aku merasa tawa itu ditujukan padaku.
"Kenalkan kami-kami pada mereka lah, Bang," pinta Fajar, anggota termuda di kelompok kami. Teman-teman di dekatnya mengiyakan. Mereka termasuk yunior kami, rata-rata baru dua tiga tahun bekerja di kapal. Fajar setahuku satu kapal dengan Deni.
"Haeiis, kalian ini anak bawang. Lebih baik kalian jaga kesucian kalian, jangan sampai ternoda," sahut Rojas.
"Ahhh, bilang saja Abang takut bersaing dengan kami, karena kalah muda. Iya, kan?" canda Fajar.
"Iyalah Bang, kami ini juga butuh pengalaman soal perempuan. Takutnya nanti kayak Bang Baruna tuh, tiap didekati perempuan malah mati kutu," timpal seorang di samping Fajar, aku lupa siapa namanya. Teman-temannya pada terkekeh. Sialan, aku kena pula. Sepertinya kabar penyakitku yang suka gugup berat jika berhadapan dengan perempuan sudah menjadi rahasia umum di kelompok ini. Kulemparkan bantal besar yang tadinya aku buat senderan ke arah mereka, lalu beranjak bangun.
"Ehh, Bang Baruna mau ke mana? Jangan marah lah, Bang. Kami cuma bercanda," Fajar berkata dengan nada terdengar merasa bersalah.
"Aku nggak marah, aku tuh lapar. Mau cari nasi di kedai kuliner," sahutku. "Ada yang mau ikut, nggak?" Tak ada yang menyahut.
"Duluan saja, Bar. Nanti kalau lapar aku nyusul ke sana," ucap Rojas. Akupun pergi sendiri. Tadinya aku pingin beli Rujak Cingur, tapi entah kenapa sekarang jadi hilang selera. Kulewati kedai demi kedai, mencari sesuatu yang bisa mengembalikan selera makanku.
"Cumi hitam dan bebek hitam Madura di situ enak, mungkin bisa jadi pilihanmu," tiba-tiba Lily sudah menjajariku, menunjuk satu kedai. Kedai Nasi Suramadu. Aku menekan kegugupanku, berusaha sesantai mungkin.
"Ehmm......sepertinya menarik. Aku belum pernah makan bebek hitam," sahutku. Aku senang mendapati suaraku tak terdengar gugup. Lily dengan entengnya menarikku menuju ke kedai, tanpa sadar sentuhannya membuatku kebat-kebit. Aku jadi bagai kerbau dicocok hidungnya.
Untungnya, ada chemistry tersendiri antara aku dan makanan, melebihi banyak hal. Bebek hitam dan cumi hitam yang berjajar di etalase, serta aroma yang menguar dari masakan yang sedang disangan di wajan, membuat perhatianku sepenuhnya teralihkan dari Lily. Kegugupanku pun memudar, terkalahkan oleh perutku yang memberontak minta jatahnya. Aku memesan cumi hitam dan bebek hitam masing-masing satu porsi besar, dan dua porsi nasi. Aku tak merasa perlu bertanya pada Lily dia mau makan apa. Cuma ada dua menu itu di kedai ini. Kalaupun dia tak mau makan, kurasa aku bisa menghabiskannya sendiri. Sampai pelayan kedai menanyakan kami mau minum apa, barulah aku bertanya pada lily.
"Paling cocok, jika makan ini, minumnya green tea, untuk menetralisir lemak," usul Lily. Aku mengiyakan. Aku tak terlalu rewel soal minuman, yang paling utama bagiku saat makan itu ya makanannya.
Lily mengajakku duduk di meja agak ujung. Di sini memang sistemnya foodcourd, pembeli bebas memilih mau duduk di mana, pesanan akan diantar.