Namanya Gustav, Kapten Gustav. Namun nama itu nyaris terlupakan, karena kami lebih senang memanggilnya Si Anjing Laut. Tentu saja, itu jika tak sedang berhadapan dengannya. Meski julukan Si Anjing Laut adalah bentuk penghormatan dari kami karena pengalamannya selama lebih dari 30 tahun menjadi pelaut, tetap saja tak sopan jika memanggil langsung dengan julukannya itu. Dan sekarang ini, Izal sedang menarik-narik tanganku untuk menemui Kapten Gustav.
"Beneran, ini tak apa?" tanyaku ragu. Meski Kapten Gustav bukanlah orang yang bertemperamen keras, tapi tak bisa juga dikatakan ramah. Ia hampir mirip dengan Izal, irit bicara, banyak bekerja, tapi kalau Kapten Gustav juga banyak perintah. Tentu saja, dia kan Nahkoda.
"Tidak apa, ayolah! Ada aku pasti tidak apa," Izal meyakinkan aku.
"Tak enak mengganggu istirahatnya," aku masih ragu.
"Maksudmu kamu mau ganggu dia pas kerja saja, begitu?"
"Bukan, tentu saja tidak. Ya sudah, ayo!" Akhirnya aku menuruti Izal.
Berdua kami melangkah menuju kabin Kapten Gustav. Izal mengucap permisi ketika sampai di pintu kabin. Hingga kali kedua diulang, baru Kapten Gustav membuka pintunya.
"Kamu, Zal. Ada apa?" Kapten Gustav bertanya, dan menyapaku dengan mengangkat kedua alisnya ketika melihatku ada di belakang Izal.
"Oke, apakah kalian mau demo minta kenaikan gaji para awak dapur?"
"Bukan, Kapten. Ini tak ada hubungannya dengan urusan dapur kapal," sahut Izal.
"Masuklah!" Kapten Gustav menyilakan kami berdua masuk ke kabinnya. Lalu menunjuk sofa, tanda menyuruh kami duduk.
Seingatku, selama hampir 3 tahun bekerja di bawah pimpinan Si Anjing Laut, aku baru sekali masuk ke kabinnya, ini kali ke-dua. Yang pertama dulu ketika aku menghantarkan hidangan ke kabin ini untuk keperluan test food. Waktu itu aku sedang uji kemampuan memasak. Kapten Gustav memberiku penilaian yang bagus, hingga aku naik tingkat dari juru racik jadi juru masak.
Sepertinya sekarang tak banyak yang berubah dari yang pertama kulihat dulu. Mungkin sebatas tirai dan bed cover yang memang secara berkala diganti. Tentu saja kabinnya lebih mewah dari kabin yang lain. Ada springbed besar, sofa dan kulkas mini, dan kamar mandi pribadi. Ibaratnya jika kamar di Rumah Sakit, kabinku dan Izal kelas II, Kabin Kapten Gustav kelas VIP. Beberapa foto peristiwa penting tertempel berjajar di dinding kabin, bak kaleidoskop kehidupan Sang Kapten.
Satu benda lagi yang dulu juga kulihat sudah jadi penghuni kabin ini. Sebuah miniatur dekorasi yang sepertinya istimewa terpajang di meja ukir kecil dekat tempat tidur Sang Kapten. Aku mengira itu istimewa, karena selain foto-foto tadi, itulah satu-satunya penghias lain yang ada di kabin ini. Wujudnya juga unik. Miniatur sarang burung lengkap dengan sepasang merpati di dalam sarang itu. Besarnya kira-kira seukuran mangkuk bakso. Warnanya keemasan, perkiraanku terbuat dari perungu. Sarang itu terlihat sangat indah, bertekstur seperti jerami emas. Sepasang merpatinya juga berwarna emas, hanya bagian matanya saja yang berwarna merah. Miniatur itu pasti termasuk koleksi langka. Aku belum pernah menjumpai yang serupa itu di mana pun. Di tiap kota yang kusinggahi, aku gemar berburu berbagai kerajinan yang unik. Aku memang termasuk penggemar benda-benda seni. Mungkin karena aku tumbuh besar di kota yang terkenal dengan kerajinan ukirannya.
"Apa yang menurutmu paling menarik dari sepasang merpati emas dalam sarang emas itu, Baruna?" Rupanya Kapten Gustav memerhatikan pandanganku yang terfokus pada hiasan itu.
"Matanya, Kapten" jawabku.
"Kenapa dengan matanya?"