Ada satu kehilangan yang sepertinya akan kusesali sepanjang sisa hidupku. Bukannya aku tidak bersyukur atas apa yang sudah kuperoleh. Aku memperoleh begitu banyak hal, namun satu kehilangan ini membuat apapun yang kuperoleh seakan tak ada artinya lagi. Ini tentang seorang perempuan yang seharusnya patut aku perjuangkan, namun malah kulepaskan, membuatku selamanya merasa jadi pecundang.
Aku melihatnya pertama kali di tempat itu. Dituntun oleh rasa penasaran jiwa mudaku atas suatu gang yang bernama Dolly. Bersama teman-teman sesama kru kapal. Waktu itu aku masih jadi petugas di kamar mesin. Kami menyebut ini "Petualangan Terakhir Para Perjaka". Meski tak semua di rombongan kami masih perjaka. Ada dua orang teman kami yang sudah hafal seluk beluk Gang Dolly. Pada dua orang itulah kami semua menggantungkan nasib malam itu. " Jangan sampai kita keluar dari Dolly masih perjaka" begitulah slogan kami saat itu.
Aku dibuai ketakjuban saat pertama kali menjelajahi Dolly. Para perempuan terpajang di berbagai wisma. Bagai boneka pajang di etalase toko pakaian. Tapi mereka boneka bernyawa yang siap menemani pesta sesaatmu. Kau bisa memilih tipe apa yang kamu inginkan, semua ada. Mulai yang KUTILANG DARAT (Kurus Tinggi Langsing Dada Rata), sampai yang SETU LEGI (Setengah Tua Lemu Ginuk-Ginuk)? ada! Mau yang secantik artis terkenal atau yang biasa saja? Bisa! Semua tergantung seleramu, dan isi kantongmu tentunya. Barang makin bagus, pelayanan makin memuaskan, harga makin tinggi.
Iseng aku bertanya pada temanku yang sudah sering ke Dolly itu, perempuan segini banyaknya apa ya laku semua?" Temanku malah balik tanya, "Kamu tahu pasar? Itu penjual cabai berderet-deret, yang dijual sama, cabai. Tapi buktinya laku semua. Kamu tahu kenapa?" Aku menggeleng. Dan dalam bayanganku sekarang para perempuan Dolly berubah bentuk jadi cabai.
"Karena tiap orang punya rejeki masing-masing. Selama orang itu masih hidup, Tuhan tak mungkin tak beri rejeki."
Agak aneh rasanya bagiku, mendengar kata Tuhan disebut di tempat seperti ini.
Dua teman kami yang sudah pengalaman itu, membawa kami ke suatu wisma kelas menengah. Itu berarti isinya perempuan berpenampilan lumayan, secara kesehatan relatif terjamin, dan kamar-kamar yang bersih, dengan harga yang cukup terjangkau. Pilihan aman untuk pendatang baru seperti kami. Setelah melalui meja resepsionis, kami dibawa ke suatu ruangan yang dikelilingi kaca. Di dalam ruangan itu, puluhan perempuan duduk di sofa, bergaya dan berdandan sedemikian rupa agar menarik perhatian para lelaki yang tengah memburu kenikmatan sesaat. Para tamu di luar bisa melihat ke dalam ruangan, tapi tidak bagi yang di dalam. Persis seperti memilih ikan hias dalam aquarium raksasa.
Di situlah, aku melihatnya pertama kali. Dia terlihat berbeda. Aku merasa dia bukannya ingin tampil semenarik mungkin tapi malah seperti ingin menghilang dari sana. Dia, laksana satu cangkir yang terselip di jajaran berlusin gelas, salah tempat. Aku bertanya pada pengantar tamu, berapa tarif perempuan itu semalam.
"Wahh, Mas ini jeli juga. Tau aja itu barang baru," jawab Si Pengantar. Aku bahkan tak mengerti apa yang dia maksudkan. Si Pengantar menyebut suatu nominal. Huufff, sepertinya gajiku satu bulan bakalan ludes malam ini. "Agak mahal, Mas. Masih jarang pakai. Masih pakem dah gigitannya, hehehehe," promosi Si Pengantar. Deal, aku meminta perempuan itu menemaniku satu malam, meminta kamar terbaik yang tersedia di sana.
Jadi, begitulah. Perempuan itu memintaku memanggilnya Lara. Terlihat canggung saat menjumpaiku di kamar. Tangannya gemetaran saat mengulurkan tangan mengenalkan dirinya. Kugenggam jemarinya, dingin. Aku memintanya duduk di sampingku, di atas tempat tidur. Dengan gerakan ragu dia menuruti apa yang kuminta. Ahh, seandainya dia tahu aku juga sama canggungnya. Mestinya aku memilih yang sudah pengalaman saja, itu akan membuat semuanya lebih mudah.
"Berapa umurmu, Lara?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
"19," jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.
"Kau terlihat canggung."
"Maaf," sahutnya pendek. "Kenapa kau memilihku?"
Pertanyaan yang sama sekali tak kuduga, dan aku tak tahu jawabannya.
"Kenapa bukan kamu?" jawabku akhirnya.
"Aku tak berharap kau pilih, maksudku, aku tak berharap dipilih siapapun."