"Kapalku akan sandar di Tanjung Perak 2 hari lagi," kabarku pada Lily. Aku bayangkan di seberang sana Lily tersenyum gembira. Ya, setidaknya aku berharap begitu. Seminggu lebih semenjak kami jadian, seingatku baru tiga kali aku menelponnya. Lily tak pernah duluan menelponku, mungkin takut menggangguku. Tapi dia rajin mengirim pesan tiap hari, sekedar menyapa. Menanya kabar. Aku menjawab dengan singkat, seperlunya saja. Mau bagaimana lagi, aku tak bisa bermanis-manis, merayu atau apa. Biarlah Lily dari awal mengenalku seperti apa adanya.
"Kau bisa mampir ke restoku, kan? Aku akan bikin masakan spesial untukmu," jawab Lily, terdengar riang.
"Yah, kurasa bisa. Kau ingin aku bawakan sesuatu. Besok kapalku akan sandar di Bali," tawarku.
"Ehmm, apa ya? Kalau kamu mau bawain aku sesuatu aku pasti senang. Tapi aku tak tahu mau minta apa. Terserah kamu saja, apapun yang kamu pilih untukku, aku akan senang."
"Ya sudah, sampai jumpa lusa, ya!"
Aku menutup teleponku tanpa basa basi berlebihan. Terkadang aku ingin memanggilnya dengan panggilan sayang yang spesial. Tapi aku belum menemukan kata yang tepat. Aku tak mau panggil Lily Say, Beb, Yang, Cintaku......atau panggilan lain yang sudah dipakai bermilyar manusia lain. Harus satu panggilan yang hanya untuk Lily.
Aku berpikir, mesti beli apa besok di Bali untuk Lily. Mungkin sesuatu yang bisa dipajang di restonya. Atau peralatan dapur yang unik. Entahlah. Lihat besok saja aku menemukan apa di Pasar Seni.
###
Kapalku merapat di Pelabuhan Benoa pukul satu siang. Akan bongkar muat dan sandar sampai besok siang, lalu melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Perak, sampai di Surabaya lusa. Aku pamit ke Izal, mau ke Kumbasari Art Market, salah satu pasar seni di Denpasar yang menyediakan barang-barang kerajinan dan souvenir yang unik. Aku sering berburu benda seni di sana. Beberapa pedagang sudah hafal denganku.
Kumbasari Art market, tak terlalu ramai saat aku sampai di sana. Mungkin karena bukan musim liburan. Kebanyakan turis-turis asing yang aku jumpai sedang berbelanja. Tawar menawar dengan dibantu tour guide mereka.
Aku jadi teringat, dulu waktu masih kelas 2 SMK, sekolahku mengadakan wisata ke Bali. Aku dan beberapa temanku dengan antusias mengajak para turis asing berfoto. Beberapa tahun kemudian, setelah aku bekerja di kapal pesiar, aku baru tahu, bahwa perilaku semacam itu sebenarnya cukup mengganggu kenyamanan para turis asing tersebut dalam menikmati liburannya, tapi mereka juga sungkan untuk menolak. Kalau ingat itu aku jadi malu sendiri.
Aku melangkahkan kakiku ke kios benda seni milik Bli Komang Sadara, pedagang langgananku. Benda apapun yang kubeli dari dia, sejauh ini tak pernah mengecewakanku, secara kwalitas maupun harga.
"Wahh, Baruna. Lama tak kelihatan. Kukira kau mabuk lautan sampai lupa daratan," sapa Bli Komang dengan logat Balinya yang kental, begitu melihatku muncul di kiosnya. Kios Bli Komang lumayan luas. Berbagai benda seni dan kerajinan dipajang dengan rapi, sesuai dengan jenisnya.
"Ahh, Bli bisa saja. Baru tiga bulan yang lalu aku mampir ke sini. Kalau aku sering-sering ke sini, bisa bangkrut aku, gelap mata lihat koleksi Bli Komang," sahutku.
"Kau ini. Uangmu mau buat apa? Selama belum ada yang menghabiskan uangmu, biar aku saja yang habiskan," gurau Bli Komang. Lalu menarik tanganku, mengajakku ke salah satu sudut di kiosnya. "Ini, aku khusus simpankan untukmu. Langka ini. Perajinnya hanya bikin satu, jadi tak ada duanya di dunia," promosi Bli Komang sambil menunjukkan padaku satu set patung mini seukuran lenganku terbuat dari kayu cendana. Patung berbentuk kuda sembrani sedang mengepakkan sayap hendak terbang. Wangi khas kayu cendana menguar dari patung itu.
"Berapa duit ini, Bli?"