Sepasang mata Lily terbelalak saat aku memberikan oleh-oleh dari Bali yang kubelikan untuknya.
"Waktu kau bilang oleh-oleh, aku pikir kau akan membelikanku Brem Bali atau kain pantai, atau apalah. Ini....ini kan, barang-barang ini, pasti kan sangat mahal, Runa....." ucap Lily terlihat rikuh.
"Maaf, saat melihat ini di Art Market, aku merasa ini oleh-oleh yang cocok buat kamu. Aku pikir kamu akan menyukainya," terangku.
"Aku sangat senang sampai nggak tahu mesti omong apa, Runa. Rasanya sampai pingin loncat-loncat lihat benda-benda cantik ini. Tapi ini kan sangat mahal."
"Siapa bilang mahal? Aku beli patung cendana untukku sendiri, vas dan lukisan itu bonusnya."
"Mana ada benda seni seperti ini buat bonus, bisa bangkrut pedagangnya." Sergah Lily tak percaya. "Ehh, saking senangnya aku sampai lupa berterimakasih."
"Tak usah sungkan. Yang penting kamu suka, aku juga senang."
"Sukaaa.....suka sangat," Lily tertawa lebar. Mengambil lukisan bunga lily, menatapnya lama. "Ini, aku banget, kan?" gumam Lily seakan tanpa sadar.
"Kau memang terlihat seindah itu," pujiku tulus. Lily tersipu, wajahnya terlihat merona. "Kamu tahu nggak, Lily putih itu melambangkan kemurnian dan ketulusan. Konon dia tercipta dari tumpahan susu Dewi Hera di nirwana. Semakin lama dipandang, Lily akan semakin terlihat indah." aku menceritakan suatu legenda Yunani yang pernah kubaca.
"Benarkah? Sekarang aku malah jadi merasa tak pantas memakai nama Lily," sungut Lily.
"Kenapa tak pantas? Kau memang seperti itu, kok. Cantikmu itu tak membosankan biar dipandang berlama-lama."
"Hmmm, ternyata kamu bisa ngegombal juga," sahut Lily terlihat jengah, padahal aku kan cuma omong apa adanya.
"Ehh, aku pasang sekarang, ya!" Tanpa menunggu jawabanku Lily sudah beranjak masuk ke bagian dalam resto. Sejurus kemudian dia sudah keluar membawa palu dan seplastik paku. Hmmm, apa dia hendak memaku dinding sendiri? Dengan rok pendek yang dipakainya sekarang, aku tak akan keberatan bila harus jadi pancatannya.