Aku pernah membaca suatu kalimat entah di mana "Petaka kadang datang pada kita dalam wujud kado berhias pita nan indah". Aku percaya kalimat itu, karena seperti itulah yang terjadi padaku. Seperti itulah Lelaki itu datang padaku awal mulanya. Dia tampak bagai malaikat pelindung yang akan menolongku dari kepapaan di usia belasan. Belum genap 18 tahun umurku saat itu, tanpa siapa pun yang mengampuku. Ibu, satu-satunya keluarga yang aku tahu, telah tiada. Aku harus bagaimana.
Sehari setelah pemakaman ibuku, lelaki itu datang. Kami biasa memanggilnya Mas Bas. Dia adalah anak pemilik rumah petak di mana selama ini aku dan ibuku tinggal. Dia pula yang mengurusi apapun yang berkenaan dengan urusan sewa rumah petak ini. Aku mengira dia akan mengusirku, karena aku tahu, sudah hampir setengah tahun masa kontrak rumah yang kami tinggali ini habis, dan ibu tak ada uang lagi untuk membayar sewa setahun berikutnya. Gajiku jadi pelayan toko hanya cukup untuk menyambung hidup. Mungkin hanya karena belas kasihan melihat ibuku yang sakit-sakitan saja, kami tidak diusir dari kemarin-kemarin. Tapi sekarang ibu sudah tak ada, apakah belas kasihan itu masih tetap ada?
"Aku tahu kau pasti masih berduka. Namun aku harus sampaikan ini secepatnya," lelaki itu memulai pembicaraannya. Aku jadi semakin yakin bakal diusir.
"Mas Bas, aku tahu ibu sudah menunggak uang sewa berbulan-bulan. Tapi aku minta keringanan barang sebulan lagi, aku belum punya pandangan tempat tinggal yang baru," aku berusaha meminta pengertian dari Mas Bas.
"Kamu ini, belum-belum kok sudah buruk sangka. Kamu pikir aku ini nggak punya hati apa? Ngusir kamu yang baru berduka?"
"Jadi Mas Bas ke sini bukan buat ngusir aku?" tanyaku, merasa sedikit lega.
"Ya nggak lah. Aku justru ke sini karena melihat kamu saat ini perlu secepatnya ditolong," terang Mas Bas.
"Menolongku, gimana maksudnya?" tanyaku bingung.
"Begini. Sebenarnya, sebelum ibumu meninggal, dia sudah berpesan, menitipkan kamu padaku misal nantinya terjadi apa-apa pada dia. Ibumu mungkin sudah merasa bahwa sisa usianya tak akan lama." Mas Bas menjeda kalimatnya, sepertinya menunggu reaksiku. Aku memilih diam saja, karena masih bingung apa maksud semua ini. Ibuku sama sekali tak pernah menyinggung soal aku dititipkan Mas Bas jika terjadi apa-apa sama Ibu.
"Kamu ini sudah beranjak dewasa, Liana, kamu sadar tidak?" tanya Mas Bas. Yah, Liana......itulah nama yang diberikan ibu padaku. Tentu saja aku sadar bahwa aku bukan anak kecil lagi. Dan karena keadaan, aku malah dipaksa untuk lebih dewasa dari umurku yang sebenarnya.
"Aku sebenarnya tak keberatan jika kamu tinggal di sini gratis sekalipun, selama yang kau perlukan. Berapa sih uang sewa yang kudapat dari kalian? Tak seberapa juga buatku, tak akan bikin aku bangkrut jika cuma tak menarik sewa dari satu petak. Tapi lihatlah lingkungan di sekitar sini. Sebagai anak gadis, amankah kamu jika tinggal sendirian di sini?"
Apa yang ditanyakan Mas Bas itu memang tak salah. Di sekitar rumah petak ini, hampir tiap malam sekelompok orang berkumpul, minum minuman keras hingga mabuk. Tak cuma laki-laki, tak jarang ada juga perempuan yang ikut nimbrung di situ. Mereka sering berbuat tak senonoh di tempat umum tanpa malu atau sungkan. Belum lagi tiap hari ada saja pertengkaran antara penghuni yang satu dan yang lain. Biasanya karena ada yang keganjenan goda suami atau istri rumah sebelah, lalu labrak-labrakan. Kadang karena masalah utang nggak dibayar-bayar. Bahkan anak-anak bertengkar saat bermain pun bisa jadi geger para orang tua. Dinamika hidup di rumah petak yang serba riuh dan ruwet adalah makananku sehari-sehari. Tapi aku lebih memilih untuk cari aman, dan tak ikut campur urusan apapun. Meski sebenarnya sebah juga dengan kondisi di sekitarku, tapi aku bisa apa? Mau pindah ke tempat yang lingkungannya lebih sehat juga tak punya kemampuan.
"Sampai sekarang aku merasa baik-baik saja, Mas Bas. Meski jujur kurang nyaman dengan lingkungan di sini. Tapi aku yakin bisa jaga diri," jawabku akhirnya setelah berpikir beberapa saat.
"Kamu baik-baik saja dan bisa bertahan karena sebelumnya ada ibumu. Nah sekarang? Kamu yakin akan tetap bisa bertahan?"