Izal menatapku heran, saat aku menggelar matras kecil di deck kabin kami, lalu menjajarkan semua makanan yang dibawakan Lily.
"Kamu habis merampok lemari makan siapa?"
"Ini dari Lily. Aku habis dari restonya tadi."
Rizal turun dari dipannya, lalu beringsut mendekatiku. Mencomot lumpia berikut acarnya. Matanya masih memindai semua makanan yang tersaji di matras.
"Ini apa?" tanya Rizal , jarinya menunjuk ayam ambrol klumut. Belum sempat aku menjawab, ada suara terdengar dari arah pintu kabin yang tak tertutup.
"Sepertinya ada yang sedang berpesta. Apa kalian sedang merayakan sesuatu?" Sosok Si Anjing Laut sudah berdiri di depan pintu kabin kami.
"Ehh, Kapten Gustav. Mari silakan gabung ke sini. Baruna bawa makanan segambreng," sahut Izal seraya menunjuk matras yang sekarang sudah nyaris tak terlihat tertutup makanan.
"Kabin kalian terlalu sempit. Kalau mau pindahlah ke kabinku. Lagi pula, memang kalian mau makan tanpa pakai minum?"
Ide bagus. Kayaknya asyik juga bisa makan di kabin Kapten. Ada sekulkas minuman aneka rasa aneka merk. Tanpa diminta dua kali aku dan izal memboyong semua makanan ke kabin Kapten Gustav. Sampai di sana makanan ini terlihat naik derajat martabatnya karena tertata di tempat yang lebih layak.
"Kalian pilih dan ambil sendiri minuman di kulkas. Ambilkan untukku kopi kaleng!" Aku dan Izal sepakat memilih minuman yang sama dengan Kapten Gustav.
"Ini ayam apa? Kok remuk begini, kayak hatiku," kali ini Kapten Gustav yang bertanya dengan nada bergurau. Atau mungkin sebenarnya bukan gurauan. Mungkin hatinya memang remuk beneran. Aku pun menerangkan nama dan asal muasal ayam ambrol klumut.
"Jadi kau habis dari restonya Lily?" tanya Kapten Gustav seraya menuangkan nasi di piringnya. Menuangkan banyak sambal, lalu mengaduknya hingga seluruh bagian nasinya memerah tercampur rata dengan sambal. Menaburkan remukan ayam di atasnya, baru menyantapnya dengan khidmat.
"Kamu bukan orang pertama yang keheranan melihat cara makanku," ucap Kapten Gustav saat memergoki aku mengamati caranya makan. "Lidahku ini, sudah tak bisa lagi membedakan mana makanan enak mana yang tidak. Semua makanan di lidahku terasa sama saja. Menuangkan banyak sambal seperti ini bisa membuat selera makanku sedikit membaik," terang Kapten Gustav, lalu meneruskan suapannya tanpa banyak bicara. Aku jadi berpikir, kehampaan di hatinya mungkin menjalar sampai ke lidahnya juga, hingga ikutan hambar, tak bisa lagi menikmati lezatnya suatu makanan. Bagiku yang gemar makan itu mengerikan. Diam-diam aku berjanji untuk tak membiarkan diriku kehilangan ketajaman indra perasa di lidah meski patah hati tingkat akut. Kulihat Izal pun mulai menyendok nasi, makan dengan lauk ayam ambrol tanpa sambal, karena Izal tak bisa makan pedas. Pemandangan yang kontras dipamerkan oleh seorang Om dan keponakannya di hadapanku. Aku tak ikut makan. Masih kenyang.
"Jadi, bagaimana keputusanmu sekarang mengenai hubunganmu dengan Lily? Sepertinya kau memilih lanjut terus," tanya Kapten Gustav setelah menyelesaikan makannya. Aku menyesap kopi kaleng dingin sambil memikirkan jawaban yang pas.
"Menurut Kapten, apa itu salah?"