"Beneran, kamu dan Cleo mau menikah bulan depan?" tanyaku pada Deni saat bertemu dengannya di kantor perusahaan kami di kawasan Denpasar. Sama-sama sedang mengurus ijin cuti.
"Hu um, kamu pasti tahu dari Lily," sahut Deni.
"Iya, tiga hari lalu pas aku di Surabaya. Waktu itu aku tanya dia bisa nggak ikut aku ke Jepara. Rencananya aku mau kenalkan Lily pada orang tuaku. Terus dia bilang nggak bisa, karena harus mendampingi Cleo menyiapkan pernikahan," terangku. Aku tak mau jika Deni salah paham dan menganggap Lily mulut ember. jadi aku jelaskan pula kenapa Lily memberitahu aku tentang pernikahannya dengan Cleo.
"Aduuuh, maaf ya, Bar, kalau begitu. Gara-gara aku rencanamu jadi gagal," sesal Deni.
"Siapa bilang gagal? Aku malah mau ambil cuti panjang sekalian menjelang kalian nikah. Setelah usai pernikahan kalian, baru aku sama Lily berangkat ke Jepara."
"Ohh, baguslah kalau begitu. Abisnya, mau gimana lagi. Lily dan Cleo itu sahabat bagai kepompong. Yang satu mau nikah, satunya jadi ikut rempong, hihihihi," Deni terkikik. Beberapa orang yang sedang duduk di lobi menoleh ke arah kami. Hmmm, ternyata sifat kemayu Deni belum juga hilang. Gaya bicaranya, gesture tubuhnya, masih tetap feminin. "Mereka sudah seperti kakak beradik, saja. Ya kan?" lanjut Deni tanpa menghiraukan tatapan aneh yang tertuju pada kami.
"Kalau begitu, jika aku sudah menikah dengan Lily, kamu harus memanggilku Kakak Ipar," selorohku.
"Eiiit, tidak bisa. Cleo kan lebih tua dari Lily. Kau yang harusnya panggil aku Kakak Ipar," protes Deni.
"Tapi aku lebih tua dari kamu dan Cleo, jadi pantasnya akulah yang jadi kakak ipar."
"Ya sutralah kalau gitu. Kakak Ipar," panggil Deni manja seraya mencowel daguku. Haduuuh, sialan bener nih Deni. Sekarang orang-orang di lobi itu pasti menganggap kami sepasang gay yang sedang kasmaran.
"Jadi tepatnya kamu akan menikah kapan? Biar aku sesuaikan dengan pengajuan cutiku. Surat ijin cutimu sudah turun, kan?
"Sudah, nih." jawab Deni sambil mengambil sesuatu dari tas cangklongnya. Sepucuk amplop coklat besar, memilih isinya sebentar, lalu menarik dua lembar kertas dari dalam amplop. Ditunjukkannya kertas itu padaku. Aku membaca tulisan di kertas. Deni diijinkan cuti selama 10 hari mulai akhir bulan depan. Aku akan mengajukan cuti di sekitar waktu itu juga.
"Ehh, kalau cuti kamu dikabulkan, kamu bisa bantuin Lily siapin pernikahanku dong," ucap Deni.
"Bantu apaan?"
"Ya pasti banyak lah yang harus disiapin. Kamu bantuin Lily lah. Hitung-hitung buat pengalaman kamu misal nikah sama Lily besok," rayu Deni.
"Iyalah, gampang. Kalau ada yang bisa kubantu pasti aku bantu. Asal nggak kamu suruh jadi penghulu saja, aku nggak bisa." sahutku.
"Yeeei, terima kasih, Kakak Ipar," Deni berkata dengan nada manja. Aku jadi menyesal karena menyuruh Deni memanggilku kakak ipar. "Sekarang kalian berdua resmi kutunjuk sebagai wedding organizer-ku."
Nah, kan. Belum juga jadi adik ipar beneran sudah kasih kerjaan saja, hufff.
"Memangnya kamu mau pernikahan yang model bagaimana? Ehh, beneran kamu nggak akan kasih tahu orang tuamu di Flores?"
Deni menggeleng. "Nggak, daripada nanti jadi masalah, mendingan mereka nggak aku kasih tahu dulu. Ntar aja kalau pernikahan kami sudah beres, baru kasih tahu mereka. Jadi kan mau nggak mau mereka harus terima dengan pernikahan kami," terang Deni. Aku mengangguk. Aku bisa memahami pilihan Deni untuk nikah sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan keluarganya.
"Aku salut, Bar, dengan keberanianmu mengenalkan Lily pada orang tuamu dulu. Kalau aku terus terang tak seberani itu. Resikonya besar."
"Semua pilihan ada resiko, Den. Tinggal bagaimana kita bisa menghadapi resiko itu," aku menyitir kata-kata Kapten Gustav beberapa waktu lalu. Deni mengangguk-angguk.