Itu memang ayahnya Deni. Dia sama sekali tak mabuk, tapi karena marahnya sampai ngamuk kayak orang habis minum tuak satu galon.
"Anak macam apa kau ini?! Kau hendak nikah tanpa beritahu Ame dan Ine? Apa maksud kau? Mau jadi anak durhaka kau rupanya!" cecar ayah Deni sambil mengacungkan terompah Nabinya ke arah Deni, seakan terompah itu serupa tongkat sihir yang bisa mengutuk Deni menjadi komodo.
"Tak begitu, Ame......tenanglah dulu. Aku tak bisa jelaskan kalau Ame marah-marah seperti ini," Deni berusaha meredam kemarahan ayahnya. Aku terkejut melihat ketenangan Deni menghadapi kemarahan ayahnya. Atau, mungkinkah Deni sebenarnya sudah bersiap diri jika hal macam ini terjadi?
"Tak begitu apa?! Kalau Ame tak kebetulan ada urusan lalu cari kau ke kapal tadi, tak bakalan tahu kau cuti nikah! Bayangkan! Bagaimana Ame tak kaget? Teman di kapal kau bilang kau cuti nikah, tapi Ame dan Ine tak tahu apa-apa?!"
"Ame, masuk ke dalam dulu ya. Kita bicara di dalam. Tak baik marah-marah begini, bikin keributan di kampung orang," bujuk Deni. Dengan hati-hati Deni mengambil terompah Nabi dari tangan ayahnya. Terompah itu sepertinya siap mendarat dengan telak di bagian tubuh Deni kapan saja.
Kami semua hanya bisa terpaku di tempat masing-masing menyaksikan adegan Deni diamuk ayahnya. Cuma bisa berharap semoga Deni bisa menenangkannya.
"Bagaimana Ame tak marah? Kau ini anak satu-satunya Ame dan Ine. Tapi kau malah hendak kawin diam-diam. Kau anggap Ame dan Inemu sudah mati, hah?!"
"Tidak, Ame. Bukan begitu. Ayolah kita bicara di dalam. Malu dilihat orang banyak."
Ayah Deni sepertinya baru tersadar telah jadi bahan tontonan. Dengan dengus kesal dan raut wajah yang masih menyimpan kemarahan akhirnya ayah Deni mau diajak masuk ke pondok yang kami sewa. Pelan-pelan Kami mengikuti ayah dan anak itu agak jauh di belakang. Aku sungguh cemas membayangkan nasib pernikahan Deni yang tinggal sejengkal waktu. Akankah pernikahan ini tetap bisa berlangsung?
###
Deni masuk ke dalam pondok beserta ayahnya, kami menunggu di luar seraya berusaha menguping. Teriakan marah ayah Deni acap terdengar. Aku menduga-duga, mungkinkah Deni berterus terang tentang semuanya. Tentang pernikahannya? Tentang Cleo calon istrinya?
"Menurutmu, gimana nasib Deni nantinya?" Sam bertanya setengah berbisik. Aku menggeleng.
"Entahlah. Mungkin memang begini jalan dari Tuhan. Mau bagaimana lagi?" sahutku lirih.
"Aku rasa, Deni sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk. Lihat saja ketenangannya tadi," nilai Rico.