“Lungo kowe! Dasar lonte! Mbug pikir aku sudi makani awakmu mbeg anak gendakanmu iki?” seru laki-laki kepada wanita berdaster merah. Rambut kusut masainya tampak seperti ditarik sekuat tenaga. Tapi ia tak berkutik untuk membalas. Demi dua pasang mata yang menatapnya di balik tirai dapur. Bau ciu menguar ke setiap sudut rumah. Laki-laki yang kupanggil Ayah itu berlalu dan masuk ke salah satu bilik. Berjalan sempoyogan kemudian ambruk di atas dipan.
“Santi, Saleh,” panggil Ibu kepadaku dan adik laki-laki yang kugandeng erat. “Cepat ganti baju kalian. Pakai jaket yang ibu siapkan di kasur.”
“Kita mau kemana, Bu?” tanyaku yang masih berusia tujuh.
“Ke rumah teman Ibu. Ayo cepat.” aku mengangguk dan menyeret Saleh masuk ke kamar. Kuganti kaos lusuh yang ia pakai dengan kemeja biru muda. Tak lupa kupasangkan jaket juga sesuai dengan perintah Ibu. Saleh yang masih berumur empat tahun tak bersuara. Aku sendiri berpakaian lebih cepat. Ayah tak pernah di rumah. Seandainya pulang pun ia akan marah-marah seperti tadi dan ambruk berjam-jam tak kunjung bangun. Sedangkan Ibu sibuk bekerja di rumah Juragan. Aku pernah melihat ia menyapu rumah yang sepuluh kali lipat lebih besar dari rumah kami.
“Anak pintar.” ucap Ibu yang muncul di ambang pintu melihatku dan Saleh telah siap. Kulihat tangannya menenteng sebuah tas besar. Ia gandeng tangan Saleh dan segera menyeret kami keluar. Di langkah sepuluh, kutengok kebelakang dan menatap rumah yang tak pernah ingin kusinggahi lagi.
***
Tujuh tahun kemudian
Aku terbangun ketika suara pintu dibuka dari luar. Kulihat Saleh tidur di pojokan dengan selimut usang melindungi tubuhnya. Tempat Ibu biasa tidur kosong. Bantal dan selimutnya masih rapi terlipat. Mataku tertuju pada jam yang menunjuk angka tiga. Dengan lunglai, kupaksa tubuhku berdiri dan keluar kamar.
“Ibu darimana?” tanyaku nyaris berbisik. Ibu terduduk di tikar dengan lesu menatapku agak terkejut.
“Ibu pulang kerja. Mulai malam ini Ibu ada kerjaan malam.”
“Kerja apa malam-malam begini?” aku masih bertanya meski kurasa Ibu jengah.
“Ada pokoknya. Kerjanya memang bagi shift. Ada shift pagi sama malam.” jawab Ibu tanpa memandangku. Kulihat tubuh lelahnya masuk ke kamar dan langsung berbaring. Suara mobil diluar memancingku mengintip dari balik jendela. Pemandangan seperti ini tak hanya sekali terjadi mengingat Juragan kerap pergi keluar kota dan pulang dini hari. Sejak kita meninggalkan rumah tujuh tahun yang lalu, Ibu membawa kami ke rumah Juragan. Juragan adalah orang yang sangat baik. Saat kami bertiga tiba dengan wajah kuyu, ia tidak ragu memberi sebuah gudang tua tak terpakainya untuk tempat tinggal. Uang sekolah dan uang jajanku serta Saleh ia yang menanggung. Syaratnya kami harus bekerja di rumahnya.
Rumah Juragan yang sangat luas tak sebanding dengan penghuninya. Juragan tinggal sendiri semenjak istrinya meninggal usai melahirkan anak pertama. Dan tak lama dari itu, anak juragan pun tidak selamat karena cacat lahirnya. Dengan satu tukang kebun dan satu asisten rumah tangga lainnya, kami hidup berenam bersama Juragan.
***
Aku berjalan cepat berusaha tak menghiraukan berpasang-pasang mata menatapku. Seragam putih abu-abu yang kukenakan mulai basah karena keringat. Tak kuhitung berapa banyak benci yang kulalui karena Ibu.
‘Oh, si Santi. Anak dari Bu Mariyah yang punya hubungan sama Juragan Ruslan.’
‘Pantes aja kabur dari rumah. Juragan Ruslan lebih baik perangainya daripada Kardi tukang mabuk itu.’
‘Eh tau nggak, bapak asli Santi matinya karena apa? Dia mabuk, terus tertabrak tronton waktu minum-minum.’
‘Tapi pinter juga ya si Mariyah. Nyari gebetan orang kaya, ganteng, duda nggak beranak lagi.’