[Bella Mewangi]
Ternyata masih ada harapan untuk bisa terbebas dari sini yaitu bersama Agung. Aku diam-diam tersenyum tipis. Dia benar-benar ada di sampingku dengan luka sama parahnya bedanya Agung terluka cukup parah di bagian kaki. Kami pun sama-sama terdiam di ruangan ini memperhatikan lambang gitar yang tertempel lalu melirik pintu yang terkunci.
"Gung, kok lo mati sih!" gerutu ku saat Agung tak lagi bicara setelah debat siapa yang salah dan siapa yang benar.
"Mulut lo minta gue sambelin, hah?" ungkapnya emosi melirikku sinis.
"Makannya jangan molor lo harus hidup ya?" kataku memperingatkan agar Agung ada disini bersamaku, jangan sampai kemana-mana.
"Ya iyalah Surti! gue masih pengen hidup emang situ narik-narik gue ke pasar ini." Agung malah mulai membuatku emosi.
"Kapan gue gak pernah ya narik lo jangan asal nuduh!" aku tak terima Agung menuduhku apalagi sampai menariknya.
"Terserah. Anda benar sedangkan saya selalu salah," ucapnya dramatis.
Aku memukul lengannya. "Ih kapan gue narik lo? jangan halu! yang ada lo yang bawa gue sama Tiara kesini," aku kembali melayangkan protes padanya.
Aku sangat kesal saat Agung tidak mau mengakui kesalahannya malah balik menyalahkan. Dia menuduh bahwa aku yang mengajaknya kesini. Ini benar-benar mencemarkan nama baik seorang Bella Mewangi. Seingat ku Agung muncul entah darimana lalu dia menunjukkan jalan ke cahaya ilahi ah bodo intinya aku tidak salah.
"Inget dosa lo merenung gitu?" cibir Agung.
"Gue gak pernah ajak lo kesini jelas-jelas itu lo duluan yang ngajak gue," aku mengelak dari tuduhan yang Agung katakan.
"Kapan? dimana?" tanyanya.
"Di kebun. Gue sama Tiara sampe bingung lo beneran Agung apa hantu?" aku mulai menceritakan saat bertemu Agung di kebun.
"Kok sama tempatnya? gue juga ketemu lo di kebun terus lo tunjukkin gue jalan tapi si piranha nya gak muncul dan pas gue bangun sekarang lo ternyata ada di samping gue," ujar Agung heran.
Aku terdiam sesaat kemudian menatap Agung curiga.