Pasir Putih Enam Maret
Kepada sahabat setia,
Sahabat,
Apa kabarmu saat ini. Mudah-mudahan sehat dan tak kurang satu apapun. Aamiin. Ku beranikan diri ini menulis sepucuk kabar kepadamu dengan harapan semua beban dan unek-unek yang selalu mengganggu malamku dapat berkurang hendaknya. Aku tak tahu harus mulai dari mana. Seperti kata orang bijak, mulailah dari awal. Tetap aku tak tahu dimana pangkalnya. Anggap saja ini adalah pangkalnya.
Sahabat, mungkin kesejatian dan kemurnian cinta belum pernah singgah walau hanya sebentar dalam kisah yang telah terlakoni selama ini. Atau ini adalah sebuah kutukan yang mesti kuhadapi sampai ajal menjemput. Itu adalah rahasia-Nya, aku takkan pernah tahu. Meski sampai saat ini aku masih mengganggap diriku adalah pemburu keindahan. Sebut saja keindahan gunung, rimba, telaga, pagi, senja, malam, kelam, mendung, gerimis, hujan, guruh, petir atau apapun bentuknya telah puluhan kali kuresapi, namun satu keindahan yang bergelayut dihatimu belum bisa terjamah oleh indrawiku sampai kata-kata ini kau baca. Satu obsesi yang takkan pernah bisa kuraih, karena kutahu semua itu hanya dapat ku gapai dalam mimpi-mimpiku dan hatimu telah kau tutupi dari putihnya salju ini. Dan akupun mengerti akan semuanya, tak ada yang dapat diratapi atau disesali. Namun satu yang ku pinta darimu bahwa jagalah keindahan itu dari pemburu-pemburu yang berniat menghitamkan kemurniannya dan kenanglah diriku yang juga mencintaimu. Kenanglah aku dalam hidupmu dan kuharap dikau menemukan bahagia.
Sahabat, tetaplah kau menjadi sahabat sejati karena kau telah mengajariku tentang sesuatu yang tak kumengerti dan segala yang tak kupahami. Meninggalkan satu kenangan yang telah terukir di dalam dinding hatiku, kaburkan luka lama ini dengan sinar keemasan pelangi. Ijinkanlah diri ini bila mengagumimu dan kunikmati damainya alam surgawi. Hanya kagum dan kagum yang bisa kuraih. Indahnya senja hanya bisa kupandangi tak bisa kugenggam dan kubiarkan tenggelam di ujung cakrawala, tiada kata yang dapat menggantikan tiada warna yang sanggup mewakili.
Sahabat, sketsa yang pernah aku kirim setahun yang lalu belumlah pudar dalam angan dan lamunan. Sketsa itu akan terus membayangiku kemanapun kaki ini melangkah, seakan itu adalah tembang-tembang cinta yang terus kau nyanyikan sampai petualangan ini berakhir. Untuk kau ketahui bahwa goresan itu bukanlah sekedar sketsa yang tanpa makna, tapi itu adalah ungkapan segala rasa dan asa. Mudah-mudahan kau mengerti apa yang kumaksudkan. Tapi seandainya kau tak mengerti juga, biarlah angin yang mengetahui semuanya. Dan aku akan terbang bersamanya sampai angin itu sendiri berhenti berhembus. Terlalu pedih untuk melihatmu dan terlalu getir untuk melukiskanmu.
Tinggi memang gunung yang kudaki kali ini, keras memang cadas yang kutempuh kali ini. Meski puncaknya telah dipelupuk mata, namun tak pernah aku sampai dipuncak itu. Belum pernah aku menyerah seperti saat ini. Mungkin ini akan membuatku jera untuk menaklukannya atau malah sebaliknya. Tapi yang pasti, kau tak bergeming dengan keputusan yang kau ambil, dan belum ada yang dapat menggantikan hadirmu. Dari batu yang kududuki ini kusadari bahwa bintang telah dimiliki malam, dari tepian bumi ini berhembus angin menyenandungkan sendu, dari dinginnya malam ini kubenam asa bersama dalamnya gemerutuk cinta. Dan baru kali ini aku percaya bahwa mencintai tak harus memiliki.
Barangkali aku terlalu egois atau malah terlalu naïf. Atau terlalu berharap dari tajamnya tatapanmu dan terlalu percaya dengan bintang yang ada di matamu. Anganku terlalu tinggi, lamunanku terlalu jauh. Aku terlalu percaya dengan cinta sejati. Dan entah apa lagi yang selalu terlalu…. Kali ini aku merasa asing dan sepi dengan segala keliaran yang berkecamuk dalam benakku. Aku ditikam kebebasanku. Andai aku bisa…
Huh…
Ku takut turun ke bumi karena ketakmampuanku membunuhmu dari benakku
Ku takut turun ke bumi karena bayangmu membelenggu hatiku dari realita
Kutahu bumi adalah kuburanku yang memenjarakan jiwa dalam sempitnya lahat keberanianku
Ku takmau berlalu-lalang di depan kuburku dan bermain-main dengan maut
Aku masih takut menjamah bumi karena aku bukanlah Arjuna yang tak gentar akan kematian