“Pak, kelihatannya kakak ini mulai siuman”. Seorang bocah yang kira-kira berumur sepuluh tahun itu memanggil orang tuanya. Tak lama pria paruh baya yang dipanggil anak itu dengan sebutan bapak, barangkali itu memang bapaknya, mendekati seorang pemuda yang masih terbaring di dipan reot yang mungkin peninggalan nenek moyang mereka.
“Ananda, sudah sadarkah gerangan?”
“Oh, dimanakah saya ini?”
“Bapak siapa? Orang-orang itu siapa? Kenapa saya bisa berada disini?”
“Tenanglah ananda, jangan bergerak dulu!”
“Syukurlah akhirnya ananda sadar juga”.
Aku masih bingung, kejadian apa yang telah menimpa diriku. Terakhir yang masih bisa kuingat adalah kantong plastik yang berisi uang recehan. Lalu kenapa aku bisa barada di sekitar orang-orang yang tak kukenal? Mereka ini siapa? Mimpikah aku? Dan segala pertanyaan-pertanyaan segera berbaris seakan ingin muntah dari mulut ini dengan serentak. Sekujur tubuhku terasa sakit, dan tak dapat kugerakkan. Kepalaku pusing seperti sebelumnya pernah membentur benda keras. Ruangan tempat aku berbaring telah dikelilingi orang-orang yang baru kali ini kulihat wajahnya. Mereka sekitar lima orang. Bukan, mungkin enam orang. Tapi mereka itu siapa? Malaikatkah? Apa aku telah mati? Dan ini yang dinamakan alam baqa?
“Minumlah dulu ananda!”
“Ananda pingsan dua hari lamanya, siapakah nama ananda?”
“Dari manakah ananda?”
Oh, ternyata aku belum mati. Pingsan? Kejadian apa yang telah menimpa diriku?
“Namaku….!”
Segenap kekuatan aku kumpulkan untuk menjawab pertanyaan bapak itu. Tapi apa yang telah terjadi. Aku sudah tak ingat lagi siapa namaku, dan darimanakah aku berasal juga tak bisa kuingat. Sedikitpun tak terlintas jawaban yang akan kujawab. Mulutku masih belum bersuara, namun kepalaku kembali sakit memikirkan jawaban apa yang akan ku beri.
“Tak apalah, sepertinya ananda masih butuh istirahat untuk menjawab pertanyaan bapak!”, lelaki tua itu pergi meninggalkan ruangan tempat aku terbaring. Dan semua orang yang berada didekatkupun pergi satu persatu.
Di kamar ini, aku lemah tak berdaya. Terbaring sendirian entah di belahan bumi mana aku saat ini berada. Otakku tak mampu berpikir, meski telah ku paksa sekalipun. Aroma dinding kayu kamar ini mulai dapat kurasakan. Bau pahit yang menempel di badankupun mulai bisa kucium, mungkin itu beberapa ramuan dedaunan yang telah ditumbuk menjadi obat penghilang rasa nyeri. Atau bisa juga bau badanku. Entahlah, tapi bau itu sangat menyengat. Kamar ini tidak begitu besar, tak ada perabotannya. Yang ada hanya dipan reot tempat ku terbaring saat ini. Dindingnya terbuat dari bilik dan tak ada pintu kamarnya, sebagai gantinya mereka gantungkan kain sebesar kusen pintu. Dipan ini tidak ada kasurnya. Aku terbaring di atas beberapa lembar kain yang mereka jadikan pengganti kasur. Sesaat kurasakan ada sesuatu yang dingin dikeningku. Kuraba, ternyata kain lembab yang hampir kering. Barangkali ini kain kompres untuk menurunkan panas tubuhku. Berarti selama aku tak sadarkan diri suhu tubuhku meninggi. Dan barangkali juga di bawah tempat aku terbaring ini, ada panci yang berisi air. Tapi aku tak bisa melihatnya, karena hanya tangan kiri, mulut dan bola mataku saja yang dapat kugerakkan.
Sekali lagi kucoba untuk mengingat namaku. Hasilnya nihil. Lalu kemana ingatanku pergi. Dan kenapa aku bisa pingsan dua hari lamanya? Pasti telah terjadi sesuatu yang menyebabkan aku hilang ingatan. Tanpa kusadari setetes kristal bening keluar dari kedua mataku. Tuhan ampunilah hambamu ini, cobaan apakah yang Kau timpakan padaku. Kenapa Kau begitu kejam padaku. Kenapa Kau beri aku cobaan yang tak sanggup kupikul. Tolonglah diriku ini. Kenapa Kau tak mendengarkan aku. Kau diamkan saja permohonanku ini. Apakah Kau memang benar-benar ada atau hanya ilusi semu. Seberapa sibukkah Engkau sehingga permohonanku tak Kau hiraukan. Tolonglah hentikan semua kengerian ini. Tuhan macam apa yang tidak mendengarkan hamba-Nya ini. Aku ingin….
“Haus”, tiba-tiba kata itu meluncur dengan sendirinya tanpa kuperintahkan.
“Haus”
Si empunya rumahpun masuk ke kamar dengan membawa segelas air putih di tangannya.
“Minumlah ananda!”