Pagi-pagi sekali keesokan harinya kami berangkat menuju kediaman pak Burhan. Tempat tinggal pak Burhan memang tak begitu jauh dari tempat aku beranjak pagi ini. Rumahnya terletak dikaki gunung. Aku tak tahu nama gunung yang ada dihapanku kali ini. Masyarakat sekitar menyebut gunung ini dengan nama gunung keramat. Entah karena apa mereka memberi nama tersebut, aku kurang tahu. Namun dari cerita pak Ahmad, mereka memberi nama gunung keramat karena disana terdapat sebuah telaga. Telaga itu tidak begitu luas. Barangkali luasnya tidak lebih dari setengah luasnya lapangan bola kaki. Konon telaga itu ditunggui oleh empat ekor serangga yang besarnya sebesar betis orang dewasa. Serangga itu seperti penyengat dan menempati empat penjuru mata angin. Telaga yang dimaksud tidak sembarang orang yang dapat menemukannya, jika kita takabur maka telaga itu tidak akan pernah ditemukan. Untuk pergi ke telaga itu ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu tidak boleh mengenakan pakaian yang berwarna hitam. Andaikata ada yang melanggar larangan tersebut maka empat ekor penunggu telaga itu siap menyengat dan memangsanya sebagai tebusan atas kesalahan yang telah dilakukan. Telaga itu terletak di tengah padang rumput yang rumputnya selalu rapi, entah siapa yang memangkas rumput itu sampai sekarang tidak ada yang tahu. Jika penunggu telaga itu mengizinkan, telaga itu akan terlihat begitu indah. Airnya bening dan tenang. Dan konon air itu dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Sampai sekarang tidak ada yang berani mencari telaga itu dan para sesepuh desapun melarang orang untuk mencari telaga tersebut, karena orang yang berniat mencari telaga itu kebanyakan hilang. Pernah ada yang mencoba mencari telaga itu, meski telah dilarang oleh penduduk setempat. Setelah beberapa lama, didapati kabar bahwa pemuda tersebut hilang dan bangkainya tak dapat ditemukan. Oleh sebab itu mereka menamakan gunung tersebut dengan nama gunung keramat.
Aku tak begitu yakin dengan cerita barusan. Tapi entahlah, siapa tahu saja cerita itu memang benar adanya. Dan barangkali juga cerita itu hanya dikarang-karang saja agar kealamian gunung ini dapat terjaga sepanjang masa. Dan pada kenyataanya hutan gunung tersebut memang masih perawan.
Atap rumah Pak burhan sudah kelihatan. Sekitar setengah jam sudah waktu yang kami habiskan menuju rumah pak Burhan, kakiku seakan tak kuat lagi melanjutkan perjalanan. Padahal rumahnya tak begitu jauh. Barangkali karena kondisi dan staminaku yang belum pulih betul.
“Rumah yang ada pondok bambu di depan kita itu adalah rumah pak Burhan” pak Ahmad berusaha menyemangatiku. Sepertinya ia tahu aku sudah kecapekan.
“Pak, istirahat dulu ya!. Betul itu rumahnya?”
“Iya, tak jauh kok”
Kamipun beristirahat sejenak melepas lelah. Butiran-butiran bening dikepalaku mulai bercucuran dari ubun-ubun. Kusempatkan menatap gunung yang ada dihadapanku sambil menggigit pucuk ilalang yang entah kapan sudah ada dibibirku ini. Gunung ini kelihatannya cukup ramah, indah dan tak seangker cerita yang barusan aku dengar. Di puncaknya ada setumpuk awan putih bersih seperti salju yang seakan memanggil-manggilku dari kejauhan. Kuperhatikan lagi dan kuusap mata ini. Seakan semakin dekat awan itu dan terus memanggilku, seperti ada suatu rahasia yang akan dibisikkannya ke telinga ini. Langit begitu bersih pagi ini. Itu baru kusadari disaat pak Ahmad mengejutkanku dari lamunan barusan.
“Ayo, kita lanjutkan lagi”
Perjalananpun kami lanjutkan. Kali ini jalan yang kami tempuh tak selebar tadi. Setelah melewati pematang sawah, jalan mulai menyempit. Dan hanya jalan setapak ini saja yang menuju rumah pak Burhan. Setelah menyeberangi sungai jalan tersebut agak mendaki, dan diujung jalan itulah rumah pak Burhan. Rumah itu tak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Aku menyangka rumah itu terbuat dari kayu dan berupa rumah panggung seperti layaknya rumah-rumah dipegunungan dengan tujuan untuk menghindari binatang buas. Tapi rumah itu terbuat dari tembok dan halamannya cukup luas. Ada satu kejanggalan yaitu tak ada rumah lain yang berada di sekitar rumah pak Burhan, hanya rumah dia satu-satunya. Saat ku memandang dari arah kami datang tadi, terlihat setumpuk perkampungan kecil. Dan tanpa kusadari, aku sudah berada di ketinggian. Hamparan kebun teh yang menghijau begitu jelas terlihat dari sini. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku, hanya takjub dan takjub.
Di belakang rumah pak Burhan ada bukit kecil, barangkali disana ada lagi ladang atau kebun. Disebelah kanan rumah tersebut ada jurang kecil, dari sana terdengar bunyi aliran air dari sebuah pancoran yang terbuat dari bambu.
“Eh, ada tamu rupanya”, seorang perempuan yang tak jauh beda umurnya dari pak Ahmad menyapa kami.
“Ayo.. ayo silahkan masuk”
“Ada apa nih, pagi-pagi betul kesini”, perempuan itu membawa kami ke ruang tamunya dan mempersilahkan duduk.
Perempuan itu tak lain adalah istri pak Burhan yang juga adik sepupu dari pak Ahmad. Dari dalam rumah keluar lelaki yang mungkin sebaya dengan pak Ahmad.
“Eh, kak Ahmad”, pak Burhan menyapa kami sambil membereskan tutup kepalanya.
“Yang kakak bawa ini siapa?”