Past and Future

Lydia
Chapter #1

Prologue

Bogor, 5 tahun lalu

“Nah, kita sudah sampai..”

Anak laki-laki berumur 10 tahun yang duduk di jok belakang membuka matanya saat mendengar suara Opah Setya. Ia mengucek-ucek matanya yang masih mengantuk dan melihat keluar jendela. Seketika matanya membulat. “Kita udah sampai di Bogor yah Opah?” tanyanya riang.

“Iya, Sayang. Yuk, turun..” Omah Aster yang menjawab. Beliau dan suaminya turun dari mobil, diikuti oleh Shesyan. Opah Setya membawa barang-barang Shesyan dan masuk ke dalam rumah yang sudah dibuka oleh Omah Aster. Omah Aster sendiri belum masuk ke dalam rumah. Ia melihat Shesyan masih asyik mengedarkan pandangannya ke sekitar. Beliau tersenyum. Shesyan memang baru kali ini berkunjung ke rumah Opah-Omahnya di Bogor. Sebelumnya Opah Setya dan Omah Aster tinggal di Jakarta. Baru 1 tahun yang lalu mereka pindah ke Bogor.

Omah Aster menghampiri Shesyan dan menepuk bahunya. “Sekarang Shesyan beres-beres dulu. Makan, mandi, baru nanti keliling lihat-lihat yah.. Ngga jauh dari sini ada lapangan lho..” ujar Beliau sambil tersenyum.

“Iya Omah? Yan bisa main bola dong di situ?” sahut Shesyan.

Omah Aster mengangguk. “Yuk, Shesyan masuk dulu.. Nanti sorean baru boleh main.”

“Oke, Omah.” Jawab Shesyan. Ia berlari pelan masuk ke rumah, diikuti oleh Omah Aster yang tidak bisa berhenti tersenyum melihat kelakuan cucunya itu.

***

Shesyan menaruh gelasnya yang sudah kosong di meja. “Yan jalan-jalan sekarang yah Omah..” ucapnya semangat.

“Mau Opah temenin?” tanya Opah Setya.

“Ngga usah, Opah. Yan udah gede, bisa sendiri.” tolak Shesyan.

Opah Setya tersenyum. “Iya deh.. Tapi pulangnya ngga boleh malam-malam. Sebelum jam 6 sudah harus di rumah.”

Shesyan melirik jam dinding, jam 3 kurang 15. Cukup. Ia pun mengangguk. Setelah memakai jam tangan agar tahu waktu, Shesyan pun pamit, lalu bergegas keluar rumah dengan membawa bola sepak. Dari rumah Opah Shesyan berjalan ke arah kiri, ketika ketemu pertigaan ia tetap berjalan lurus, tapi ternyata itu jalan buntu. Shesyan berbalik dan saat sampai di pertigaan ia menyeberang jalan. Lurus agak jauh ada pertigaan lagi. Shesyan berhenti berjalan. Lurus atau belok yah?

“Nyari apa?”

Shesyan berbalik dengan kaget saat mendengar suara di belakangnya. Suara itu berasal dari anak laki-laki kira-kira sebayanya. Ia memegang raket yang ditaruh di bahunya. Anak laki-laki itu memakai kaos polos warna abu-abu dan celana pendek selutut warna hitam.

“Nyari apa?” ulang anak itu saat dilihatnya anak laki-laki di depannya itu malah bengong dan tidak menjawab pertanyaannya.

“Lapangan.” Sahut Shesyan spontan.

“Oh.” Anak laki-laki itu lanjut berjalan. Sebelum berbelok, ia menoleh. “Lewat sini.” Ujarnya sambil menunjuk jalan dengan dagunya. Tanpa menunggu reaksi Shesyan, dia melanjutkan jalannya.

Shesyan berjalan cepat mengikuti anak laki-laki itu. Shesyan menoleh dan menatap anak laki-laki itu setelah berada di sampingnya. “Boleh tau nama kamu siapa?” tanyanya ragu-ragu.

Anak laki-laki itu memindahkan raket ke tangan kirinya dan memberi tangan kanannya ke Shesyan. “Nathanael, tapi panggil aja Nathan.”

Shesyan menyalami tangan Nathan. “Aku Shesyan, tapi biasa dipanggil Yan. Umur kamu berapa?”

"10.” Jawab Nathan singkat.

“Wah, berarti kita seumur..” seru Shesyan riang. Nathan tidak menjawab, tapi Shesyan tidak memerhatikan itu karena matanya sudah melihat tanah lapang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Lapangan itu ada di sebelah kiri. “Ketemu juga akhirnya.” Ia berlari dan memasuki lapangan tersebut. Ada 2 anak laki-laki yang sedang bermain badminton. Sepertinya Nathan mau ikut bermain bersama mereka, makanya dia bawa raket.

“Oi, Than dateng juga. Sini gantian..” salah satu dari mereka berhenti bermain saat melihat Nathan. Ia berjalan ke arah pohon di pinggir lapangan dan duduk bersandar di situ.

Nathan langsung menempati posisi temannya itu sebelumnya. Tapi anak laki-laki satunya lagi tidak langsung mengajak main. Ia melihat Shesyan yang sepertinya sedang kebingungan dalam diam. Ia menoleh ke Nathan. “Siapa?” tanyanya.

Nathan melirik Shesyan sekilas. “Namanya Shesyan. Kayaknya baru pertama kali datang ke sini.”

Anak laki-laki itu mengangguk kecil. “Shesyan.” panggilnya. Ketika dilihatnya Shesyan menoleh padanya, ia memberi kode untuk mendekatinya. “Nama kamu Shesyan?”

“Iya.” Jawab Shesyan.

“Aku Dava, tetangganya Nathan.” Ia menjabat tangan Shesyan, lalu menoleh ke cowok satu lagi yang sedang istirahat. “Itu Dave, adik aku. Kamu kelas berapa?”

“Naik kelas 5.” jawab Shesyan.

“Seumur Nathan berarti yah? Aku udah lulus SD, mau SMP. Kalau Dave naik kelas 6.” Jelas Dava. Ia melihat bola di tangan Shesyan. Disodorkannya raket yang dipegangnya ke Shesyan. “Nih, main sama Nathan..”

Shesyan melongo. “Ngga usah Kak. Kak Dava aja yang main.” Ujar Shesyan.

“Ngga apa-apa. Nanti kita ganti-gantian aja. Aku istirahat dulu sama Dave.” Sahut Dava. Dengan ragu Shesyan mengambil raketnya. “Nah, bolanya sama aku dulu..” tanpa permisi Dava mengambil bola di tangan Shesyan dan membawanya.

Mata Shesyan masih mengekor Dava yang ikutan duduk di bawah pohon dengan adiknya. Dilihatnya Dave berbicara sesuatu sambil melirik dirinya dan kemudian Dava balas berbicara. Mungkin Dave menanyakan tentang dirinya. Shesyan beralih menatap Nathan.

“Ayo, main..” ajak Nathan. Ia sudah memegang kok di tangannya.

Shesyan tersenyum tipis. “Yuk..”

***

Sudah 3 hari Shesyan selalu bermain bersama Nathan, Dava, dan Dave. Shesyan sudah tahu di mana rumah Nathan, 2 rumah sebelum jalan buntu yang kemarin ia lewati dan rumah Dava Dave di samping rumahnya. Berbeda dengan Shesyan yang ke Bogor untuk berlibur di rumah kakek neneknya saat kedua orangtuanya keluar negeri, tiga temannya itu memang orang Bogor. Nathan anak tunggal seperti dirinya. Dava dan Dave dua bersaudara.

Mereka selalu bermain sekitar jam 3. Seperti hari ini, Shesyan sudah keluar rumah saat jam menunjukkan jam 2.55. Ia berjalan sambil melihat rumah-rumah di samping rumah Opah dan Omahnya. Ada sekitar 4-5 rumah sebelum ia sampai di pertigaan. Di rumah tepat 2 rumah sebelum pertigaan, Shesyan berhenti. Ia melihat ada anak perempuan sedang senyum-senyum sendiri dengan handphone di tangan di teras rumahnya. Entah dia sedang bermain atau chat dengan temannya, Shesyan tidak tahu. Yang Shesyan tahu, senyumnya manis. Tanpa sadar Shesyan mematung dengan tatapan tidak lepas dari wajah tersenyum anak perempuan itu. Anak perempuan itu memakai kaos merah marun bergambar hati dan rok jeans selutut. Rambutnya panjang dikuncir setengah. Ia bertanya-tanya, sudah beberapa hari dia di Bogor tapi kenapa ia baru melihat anak perempuan itu sekarang.

Merasa ada yang memerhatikan, anak perempuan itu menoleh ke arah Shesyan. Mereka bertatapan sekilas sebelum akhirnya Shesyan memalingkan muka. Malu karena ketahuan menatapnya begitu lama sampai dia sadar dan menoleh. Tanpa melirik sedikit pun, Shesyan berjalan cepat menjauhi rumah anak perempuan itu.

***

Shesyan berjalan perlahan. Ia sengaja pergi lebih pagi dari biasanya. Sebelum sampai di rumah yang dimaksud, Shesyan berhenti. Setelah dilihatnya tidak ada orang di sekitarnya, ia memajukan badan dan mengintip ke dalam rumah berwarna putih itu. Sepi. Pintunya ditutup. Shesyan menghela napas kecewa dan melangkah pelan.

***

Sekarang kebiasan Shesyan bertambah satu. Saat berjalan di depan rumah berwarna putih bernomor 19 itu, ia akan menoleh. Mencoba peruntungan, siapa tahu ia bisa melihat anak perempuan itu lagi. Aneh. Padahal ia baru ketemu sekali, itu pun hanya sekilas. Tapi kenapa ia sebegitu penasarannya yah? Ada lagi yang aneh. Sudah 2 hari, rumah itu seperti kosong, tidak ada orang. Masa iya waktu itu ia berhalusinasi?

Lihat selengkapnya