Nadya menatap poster film di depannya dalam diam. “Kak Axel mau nonton ini?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya. Ia mendengar Axel menjawab ‘iya’ dengan suaranya yang pelan. Sepertinya salah dia meminta Axel yang memilih film yang akan ditonton hari ini. Tapi kalau dia menolak, apa gunanya dia bertanya di awal tadi. Hm. Ya sudah lah.. Ia menoleh ke Axel. “Yuk, beli tiket..” ajaknya.
Selama film berlangsung, Nadya memeluk lengan Axel sembari memejamkan mata. Ya, film yang dipilih oleh Axel memang film horror. Ketika ada adegan yang mengagetkan, Nadya meremas lengan Axel dan menyembunyikan wajahnya di belakang bahu Axel. Axel hanya bisa terdiam diperlakukan seperti itu. Jantungnya sudah berdetak lebih cepat sedari tadi. Bukan karena film yang ia tonton, tapi karena cewek di sampingnya itu.
“Kenapa kamu ngga bilang kalau kamu ngga bisa nonton film horror?” tanya Axel ketika mereka sedang berjalan keluar bioskop. Kini ia sudah semakin terbiasa ngobrol dengan Nadya. Ia sudah bisa memulai percakapan duluan.
“Kan aku yang minta Kak Axel milih..” jawab Nadya pelan.
“Ya udah lain kali jangan nonton film horror lagi.” ucap Axel.
Nadya mengangguk. Mereka pun jalan-jalan sebentar di mall sebelum pulang. Saat melihat stand yang menjual softlens dan peralatan lainnya, Nadya menoleh ke Axel. “Kak Axel ngga mau coba pake softlens?” tanyanya.
Axel melirik stand itu sekilas. “Ngga. Aku ngga berani.”
“Hm. Padahal kayaknya Kak Axel bagusan ngga pake kacamata deh..” gumam Nadya. “Terus perawatan biar jerawatnya ilang. Pasti Kak Axel makin cakep.” Lanjutnya ngomong sendiri. Ia melirik Axel yang ternyata mendengar kata-katanya. Wajahnya memerah. Nadya tersenyum. Lucu.
Mereka lanjut melihat-lihat stand yang lain. Di salah satu stand yang menjual berbagai macam handuk, mendadak Nadya kepikiran sesuatu. Ia menyuruh Axel menunggu di luar stand. Ia sendiri masuk ke dalam dan tak lama keluar sambil membawa plastik kecil. Diberikannya plastik itu pada Axel. “Buat Kak Axel.”
Axel menundukkan kepalanya untuk melihat isi plastik yang diberi oleh Nadya itu. Handuk kecil berwarna biru langit. “Dalam rangka apa?” tanyanya bingung. Ini bukan hari ulang tahunnya.
“Ngga dalam rangka apa-apa.” Jawab Nadya. “Kan Kak Axel sekarang lebih sering main basket, jadi perlu ini buat lap keringet.” Jelasnya.
“Makasih.” Ucap Axel sambil tersenyum. “Kamu mau balasan apa, Nad?”
Nadya balas tersenyum. “Kan aku udah pernah bilang. Kak Axel ngga perlu balas apa-apa. Aku ngasih kan bukan ngarepin balasan.. Dan lagi,” Nadya melirik Axel sekilas. “Kak Axel jangan panggil aku ‘Nadya’ dong..” Kedua alis Axel terangkat. “Itu kan panggilan temen-temen. Kak Axel kan pacar aku, jadi harus beda manggilnya.” Ujar Nadya lagi.
“Terus aku manggil kamu apa?” tanya Axel. Ia memutar bola matanya. Nama panjang Nadya itu.. Nadya Gea Purnama. Kalau ngga mau dipanggil dengan nama Nadya, jadi… “Gea?” ucap Axel ragu.
Nadya terdiam sesaat tapi kemudian tersenyum. “Boleh.”
***
Semenjak hari ini Axel memanggil Nadya dengan nama ‘Gea’. Walaupun kadang lidahnya terpeleset namun lambat laun ia terbiasa juga memanggil pacarnya ‘Gea’. Gea semakin sering menghabiskan waktu dengan Axel dibanding dengan kedua teman baiknya, Dini dan Emy. Jika sebelumnya hanya pulang sekolah, kini saat istirahat pun Gea lebih memilih bersama Axel.
“Ngga ke kelas, Nad?” tanya Dini suatu hari. Ia sudah memegang plastik berisi makanan yang dibelinya di kantin. Beberapa hari belakangan, setelah dari kantin Gea lebih suka duduk-duduk di kursi dekat kantin. Dini dan Emy tidak pernah ikut karena mereka tahu kalau Gea menunggu Axel di situ.
Gea menggeleng. “Kalian duluan aja.” Ucapnya.
Emy cemberut. “Gitu. Sekarang sama Kak Axel terus kita dilupain.” Gerutunya.
“Ngga kok.” Sergah Gea. “Kalian ikut aja kita ngobrol bareng.” Ajaknya.
“Ngga mau. Nanti kita cuman jadi nyamuk.” Dini ikut menggerutu. “Yuk, My.” Dini menggandeng lengan Emy. Mereka pun berlalu dari hadapan Gea.
Gea memerhatikan punggung kedua temannya yang pergi menjauh itu. Sebetulnya ia sadar kalau ia sudah jarang bersama-sama dengan Dini juga Emy. Tapi itu bukan berarti ia tidak pernah mengajak keduanya untuk nongkrong bareng. Mereka saja yang selalu tidak mau. Bukan salahnya kan kalau begitu?
Sebelum bel tanda istirahat selesai berbunyi, Gea sudah masuk ke dalam kelasnya. Dilhatnya Dini dan Emy sedang cekikikan dengan Candy juga Putri. Candy duduk di kursinya, sedangkan Putri duduk di samping Emy. Gea menghampiri dan berdiri samping Emy. “Ngobrolin apa sih? Kayaknya seru banget.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Eh, tumben lu udah balik, Nad?” seru Emy masih dengan sisa tawanya.
“Terus lanjutannya gimana, Put?” Candy tidak memedulikan pertanyaan Gea.
“Iya, iya, gue juga penasaran. Abis anjingnya gonggongin bokap lu terus bokap lu dikejar-kejar gitu? Sampe keliling kompleks?” ujar Dini sambil tertawa. Emy, Candy, dan Putri ikut tertawa. Setelah itu, Putri melanjutkan ceritanya. Teman-temannya yang lain asyik menimpali cerita Putri. Hanya dia yang terdiam, merasa terasingkan.
***
“Nad, nanti balik mau ikut jalan-jalan ngga?” tanya Dini sembari membereskan buku-bukunya. Sebelum Gea sempat menjawab, Dini sudah terlebih dahulu melanjutkan. “Ah, lu balik sama Kak Axel yah? Jadi ngga bisa ikut?”
“Gue—“
“Din, ayo! Si Candy tadi udah ngasih kode tuh dia tunggu di gerbang sekolah.” Emy berceloteh dengan semangat sambil berdiri dan menaruh tasnya di punggung. “Lu ikut ngga, Nad?” Emy melirik Nadya sekilas.
Dini ikut berdiri setelah selesai memasukkan semua bukunya ke dalam tas. Ia dan Emy menatap Gea dalam diam, menunggu. Tangan Gea yang sedang memegang buku berhenti di udara. “Ah, gue ngga ikut deh.. Udah ada janji sama Kak Axel.” Ujarnya kemudian.
“Ya udah, kita duluan yah.. Dah!” pamit Dini.
Emy melambaikan tangan. Ia dan Dini pun berjalan beriringan untuk keluar kelas. “Bener kata lu yah, Din, si Nadya pasti sama Kak Axel..”
Gea menoleh tapi dilihatnya kedua temannya itu tidak meliriknya lagi sama sekali. Ia pun sadar kalau Emy berkata demikian bukan karena ingin didengar olehnya tapi hanya sekadar obrolan semata. Ia juga masih mendengar jawaban, ‘apa gue bilang’ dari Dini sebelum mereka semakin menjauh dan obrolannya sudah tidak terdengar lagi.
Gea tidak melanjutkan kegiatannya membereskan buku. Ia malah menundukkan kepalanya, merenung. Entah sejak kapan ia merasa kedua temannya itu semakin menjauh darinya. Biasanya mereka kemana-mana selalu bertiga. Jajan, jalan-jalan, atau sekedar ngobrol saat istirahat. Mereka memang sudah dekat sejak kelas 3. Tapi sekarang, kelihatannya mereka lebih dekat dengan Candy juga Putri dari kelas B.
Saking seriusnya berpikir, Gea tidak menyadari kalau Axel melongokkan kepalanya ke kelasnya. Ia tidak berani masuk karena masih ada beberapa siswa di dalamnya. “Gea.” Panggilnya. Tapi Gea bergeming. Ia pun bersandar di dinding kelas, menunggu.