Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Suasana di kelas XII-A3 langsung berubah gaduh. Setelah mengucapkan terima kasih pada Bu Nova, yang mengajarkan Fisika sebagai mata pelajaran terakhir di hari itu, anak-anak di kelas XII-A3 banyak yang segera membereskan buku-bukunya lalu keluar dari kelas. Rhena, Shesyan, Axel, dan Peter kebalikannya. Mereka masih santai saja di bangku mereka masing-masing.
“Lu ikut nonton ngga, Ree? Kita pada mau maen dulu hari ini..” tanya Shesyan pada sampingnya. Ia dan Rhena memang duduk bareng di kelas XII ini.
“Mm. Boleh.” Jawab Rhena. Buku-bukunya masih berserakan di meja tapi ia seperti tidak ada niat untuk membereskan. Ia malah mengotak-atik hpnya.
Shesyan melirik Rhena sekilas. “Ngajak adik lu?” tanyanya, berusaha agar terlihat kalau itu pertanyaan sambil lalu.
Rhena berhenti memainkan hpnya sesaat tapi kemudian meneruskan kegiatannya tanpa menoleh ke Shesyan. “Kenapa emangnya?” Ia balik bertanya.
“Ngga apa-apa. Nanya aja.” Jawab Shesyan. Mereka mulai membereskan buku-buku mereka dalam diam. Axel dan Peter yang duduk di belakang mereka beda lagi. Mereka sudah selesai beberes sembari membicarakan tentang game yang mereka mainkan bersama. Setelah itu mereka berdiri dan menunggu Shesyan juga Rhena.
Ketika mereka sampai lapangan, Rhea sudah duduk manis di bangku panjang tempat biasa mereka nongkrong. Axel tertegun. Ada Gea di sampingnya. Gea terlihat canggung. Entah ada angin apa dia tahu-tahu ikut untuk nonton yang main basket. Tapi ternyata yang bingung bukan hanya Axel seorang karena Rhena langsung menanyakan hal itu pada Rhea.
“Abis Jenny udah ngga sekelas. Tadi mampir ke kelasnya, eh, udah bubaran. Jadi gue bawa Nadya deh..” jelas Rhea.
Gea menundukkan kepalanya. Ia memang terpaksa datang ke sini. Tapi sebetulnya kalau mau, ia bisa saja menolak mentah-mentah. Ia melirik Axel sekilas. Mata mereka bertemu karena Axel juga tengah melihat dirinya. Ia langsung memalingkan muka. Tak lama ia berdiri. “Gue nyusul Elvin dulu yah ke kantin..” pamitnya. Tanpa menunggu jawaban, ia sudah berlalu.
Rhena menoleh ke Axel. Saat dilihatnya Axel masih mengekor punggung Gea yang berjalan menjauh, ia pun menghampiri Axel. Disentuhnya lengan Axel sampai Axel menoleh. “Lu ngga apa-apa?” tanyanya berbisik.
Axel tersenyum. “Ngga apa-apa.” Jawabnya.
Rhena membalas dengan gumaman. Setelah itu kembali mendekati Rhea dan duduk di sampingnya. Ia juga Axel tidak sadar kalau sedari tadi Shesyan mengamati mereka. Shesyan juga tidak menyadari kalau Peter juga memerhatikan itu semua.
***
Shesyan menghempaskan dirinya ke kursi. “Minum dong..” pintanya pada Rhena. Rhena memberikan botol yang ia pegang ke Shesyan. Shesyan langsung meneguknya sampai setengah botol. Ia menghembuskan napas panjang. “Hp dong, Ree..” pintanya lagi.
Rhena menggerutu tapi dilakukan juga permintaan Shesyan. Shesyannya sendiri hanya bisa nyengir. Setelah mendapat hpnya, ia kembali terdiam. “Ngapain sih? Malah sibuk sendiri.” Cetus Rhena.
“Gue ada janji ketemu sama temen.” Ujar Shesyan dengan mata masih fokus pada hpnya. Saat menyadari sesuatu, ia menoleh ke Rhena. “Lu inget kan gue ketemu temen gue pas edufair kemarin?” Shesyan mengamati perubahan ekspresi di wajah Rhena.
Rhena mengerlingkan matanya. “Oh, temen lu yang waktu itu..” gumamnya.
“He-eh.” Mata Shesyan masih berpaku pada wajah Rhena. “Namanya Nathan.” Ia diam kembali. Tidak ada reaksi dari Rhena. “Dulu dia tinggal di Bogor. Sekarang dia sekolah di Jakarta, tinggal sama Om Tantenya. Dulu gue bisa kenal sama dia pas gue liburan ke rumah Omah Opah gue di Bogor.” Shesyan sengaja berhenti bercerita. Namun dilihatnya Rhena hanya terdiam mendengarkan ceritanya. Shesyan tidak menyadari kalau Rhea yang juga ikut mendengarkan mengernyitkan dahinya. “Selain dia, ada juga Kak Dava sama adiknya, Dave. Cuman kita cuman maen bentar karena mereka pergi liburan. Terus—“
“Yan!” Teriakan Peter memotong cerita Shesyan. Shesyan mengalihkan pandangannya ke Peter. Peter memberi kode agar Shesyan kembali bermain. Shesyan menghela napas lalu bangkit berdiri dan mengikuti keinginan temannya itu.
Rhena melirik adiknya. Dilihatnya Rhea seperti sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Rhena.
“Hm?” Rhea menoleh ke Rhena. “Ngga. Cuman pas si Yan cerita, gue kayak inget sesuatu.” Jawab Rhea. “Kita juga waktu di Bogor sering maen bareng sama anak cowok gitu kan yah? Tapi,” Rhea menelengkan sedikit kepalanya. “namanya siapa yah? Gue lupa.” Tiba-tiba mata Rhea membulat. “Eh, anak cowoknya ada 2 yah?” tanyanya pada Rhena. “Lu inget ngga, Na? Yang sebelum gue—“
Perkataan Rhea terhenti karena ia mendengar keributan dari lapangan. Ia dan Rhena menoleh ke asal suara. Dilihatnya ada seseorang yang sedang dikerumuni oleh anak-anak lainnya. “Kenapa sih?” tanya Rhena bingung.
“Kak Axel.” Gea bangkit berdiri dari duduknya. Ia ingin menghampiri ke lapangan tapi ia menahan diri. Ia menoleh ke Rhena dan Rhea. “Kak Axel kena tabrak.” Ujarnya. Ketika dilihatnya Rhena dan Rhea masih melongo bingung, ia melanjutkan. “Tadi mereka lagi ngumpul di bawah ring buat ambil bola rebound. Tapi Kak Axel ngga ikut loncat. Dia kena tabrak yang lain yang abis loncat.” Ia mengalihkan pandangannya ke lapangan. Wajahnya terlihat cemas. “Kayaknya mukanya kena deh..”
Rhena yang tidak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya berdiri dan langsung berlari kecil ke lapangan. “Axel kenapa?” tanyanya langsung pada Peter yang paling dekat dengannya.
Peter menoleh saat mendengar suara Rhena. “Pelipisnya berdarah.” Lapor Peter.
Rhena tersentak kaget saat akhirnya melihat Axel dengan matanya sendiri. Mata kanannya terlihat memar dan di atas yang memar itu keluar darah. “Gue ngga apa-apa kok.. Kalian lanjut maen aja.” Terdengar suara Axel di telinganya.
“Lu bawa si Axel ke UKS, gih.” Pinta Peter sambil menunjuk Axel dengan jempolnya.
Rhena mengangguk. Teman-temannya yang lain pun membuka jalan agar Axel bisa menghampiri Rhena. Rhena menggandeng lengan Axel. “Yuk, ke UKS..” ajaknya. Axel menurut. Shesyan dan Peter mengekor punggung mereka dalam diam.
***
“Kenapa bisa kena gini sih?” omel Rhena sambil mencari betadine. Darahnya sudah ia seka dengan tisu. Sekarang perlu ditutup dengan betadine dan kasa. Guru jaga di UKS sudah pulang karena ini memang di luar jam sekolah. “Lu ngga liat temen lu loncat emangnya?”
Axel yang sedang duduk di ranjang hanya bisa terdiam. Ini memang salahnya. Ia yang tidak fokus bermain. Matanya malah melirik Gea berulang-ulang kali. Apalagi karena di sampingnya ada cowok itu. Elvin kah namanya? Untuk apa ia menemani Gea menonton basket? Axel menghela napas. Untuk apa ia bertanya pada dirinya sendiri? Toh, Ia sendiri sudah tahu jawabannya..
Setelah menemukan betadine, Rhena menuangkan betadine itu beberapa tetes di atas kasa yang sudah ia rekatkan dengan plester. Ia membalikkan badannya ke Axel. “Merem yah..” ucapnya. Axel menurut.
“Tadi Gea yang pertama kali kasih tau lu kenapa.” Ujar Rhena sembari menempelkan kasa yang ia pegang ke pelipis Axel. “Berarti dia merhatiin lu yah..” lanjut Rhena. Ia tahu Axel menyimak kata-katanya walaupun ia tidak mengucapkan apa-apa. Rhena terdiam sesaat. “Tadi tau-tau si Yan ngebahas tentang Nathan.” Ucapnya lagi perlahan.
“Terus?” Kali ini Axel merespon perkataannya.
“Dia cerita gimana dia bisa ketemu Nathan.” Rhena menekan plester yang sudah merekat di pelipis Axel perlahan. “Dia hampir ngebahas tentang ‘Ree’.” Lanjutnya. Ia melepas tangannya dari wajah Axel. Tahu kalau Rhena sudah selesai, Axel membuka matanya. Mereka pun bertatapan. “Gue mesti gimana, Xel?” tanya Rhena dengan raut sedih. “Kalau Shesyan tau gue bukan Ree yang dia cari, gue…” Rhena tidak melanjutkan kata-katanya.
Axel menghela napas panjang. Ditariknya tangan Rhena ke dalam genggamannya. “Kalau dia bener-bener sayang sama lu, dia ngga akan peduli lu itu Ree atau bukan.” Ujarnya.
Rhena meremas tangan Axel. “Tapi—“
Mereka menoleh dengan kaget saat mendengar suara pintu dibuka. Peter. Rhena membalikkan badannya, secara tidak langsung melepas genggaman tangan Axel. “Shesyan?” tanya Rhena. Kenapa Peter sendirian yang ke sini? Aneh.
“Ng.” Peter mengalihkan pandangan matanya ke tempat lain. “Dia mau balik duluan.”