Past and Future

Lydia
Chapter #17

Epilogue - Part 1

Bogor, 5 tahun lalu

“Ma, Rhena main sepeda yah..” pamit gadis kecil dengan rambut dikuncir setengah pada Mamanya yang sedang memasak di dapur.

“Iya, Sayang. Hati-hati. Jangan lama-lama mainnya yah..” seru Mamanya.

Rhena langsung berlari kecil ke garasi rumahnya dan mengeluarkan sepeda roda dua dari situ. Setelah menutup kembali pintu garasinya, ia membawa sepedanya keluar gerbang. Baru saja naik ke atas sepeda, ada yang memanggil dari dalam rumah.

“Jangan lama-lama.” Gadis dengan wajah yang sangat mirip dengan Rhena menghampirinya. Rambutnya dikuncir satu. Ia memegang teralis gerbang rumahnya sambil menatap Rhena. Ini karena sepeda mereka yang satu lagi rusak. Sudah lama rusaknya dan Papa belum membelikan yang baru. Jadilah mereka harus bergantian untuk main sepeda.

Rhena mengangguk dan langsung mengayuh sepedanya setelah ber-dadah-ria dengan Rhea. Rhena melewati lapangan dan menoleh sekilas ke sana. Ia melihat ada beberapa anak cowok yang sedang bermain badminton. Padahal ia sudah tinggal di situ sejak lahir tapi tidak pernah sekali pun ia bermain di lapangan. Jika mau bermain badminton, ia dan Rhea akan bermain di halaman rumahnya.

Ketika gantian Rhea yang bermain sepeda, ia juga melakukan hal yang sama dengan Rhena. Saat melewati jalur lapangan, ia menoleh ke sana. Ada 3 cowok yang sedang bermain. Biasanya setiap ia bermain sepeda di sore hari dan melewati lapangan, mereka bertigalah yang sedang bermain di sana. Entah main sepak bola, basket, atau badminton.

Rhea kembali melihat ke depan. Seperti Rhena, Rhea juga tidak peduli pada tiga cowok itu. Tidak ada keinginan untuk kenal apalagi main bareng dengan mereka. Ia mengayuh sepedanya lebih cepat dan tersenyum riang, tanpa menyadari kalau suatu hari nanti ia bukan hanya sekedar kenal dengan salah satu dari ketiga cowok itu.

***

Rhena keluar ke teras dengan hp di tangannya. Ia sedang SMS-an dengan Rhea yang sedang berada di villa. Minggu lalu Pamannya mengajak Rhena sekeluarga untuk berlibur di Puncak. Kemarin Rhea juga Mamanya sudah berangkat duluan ke villa setelah dijemput oleh adik Papanya itu karena Om Theo butuh bantuan Mama untuk belanja dan lain sebagainya. Sedangkan Rhena memilih untuk berangkat bareng Papanya yang masih harus kerja terlebih dahulu walaupun sudah ijin setengah hari.

Jam sudah menunjukkan hampir jam 3 sore tapi Papa Rhena belum muncul juga. Oleh karena itu, ia sengaja menunggu di teras rumahnya. Papa meminjamkan salah satu hpnya ke Rhena agar bisa bertukar kabar dengan Rhea menggunakan hp Mamanya. Rhena tidak sendirian di rumah. Papanya sengaja meminta Bi Ani agar tidak pulang dulu sebelum dirinya sampai rumah. Jadi ada yang mengurus dan menjaga Rhena.

Rhena sedang asyik membuka gallery foto di hp untuk mencari foto Jemy, panggilan Jeremy, sepupunya yang masih berumur 1 tahun ketika ia merasa ada yang memerhatikan dirinya. Refleks ia menoleh dan matanya bertatapan dengan anak cowok yang tidak ia kenal. Itupun hanya sebentar karena anak cowok itu langsung memalingkan wajahnya dan berjalan menjauh. Rhena mengerutkan keningnya. Siapa? Kenapa dia lihat-lihat ke sini? Rhena mengangkat bahu dan meneruskan kegiatannya melihat foto sepupunya itu.

***

“Ma, pinjem hp Mama dong..” pinta Rhea ke Mamanya yang sedang duduk santai di ruang makan sambil membaca majalah. “Rhea mau liat video sama foto-foto waktu di Puncak. Ya, Ma?” tanyanya lagi.

“Iya.” Jawab Mamanya sambil membalik halaman yang dibacanya.    

Rhea tersenyum dan langsung mengambil hp Mamanya yang ditaruh di meja, kemudian berjalan meninggalkan ruang makan. Dari pada ia memikirkan kalau mulai malam ini ia akan tidur sendiri, lebih baik ia mencari hal lain yang bisa membuat dirinya senang. Melihat foto dan video saat liburan kemarin sepertinya bisa membuat mood nya membaik.

Hari ini Rhena akan menginap di rumah Om Theo, jadi ia sedang menyiapkan baju-bajunya di kamar. Padahal tadi pagi mereka baru saja pulang dari Puncak. Tante Nina yang mengajak Rhena dan Rhea menginap kemarin. Kalau hanya sehari atau dua hari sih Rhea mau-mau saja ikut.. Tapi kalau seminggu.. nanti dulu deh.. Tante Nina yang mengusulkan untuk menginap seminggu karena libur sekolah mereka memang masih panjang dan Rhena dengan riangnya mengiyakan. Sedangkan Rhea sudah bilang mau mikir-mikir dulu. Sekarang keputusannya sudah bulat, dia ngga mau ikut.

“Ree, pinjamnya jangan lama-lama yah.. Baterainya sudah mau habis.” Seru Mamanya sambil menaikkan wajahnya sedikit dari majalah sebelum Rhea sampai di teras.

Rhea melirik tanda baterai di hp yang dipegangnya. Baterainya tinggal 1 bar. “Iya, Ma.” Balas Rhea dengan berteriak. “Nanti Ree charge in deh..”

Ia keluar dari pintu dan menuju salah satu bangku yang ada di teras rumahnya. Belum sempat Rhea duduk, matanya menangkap sosok seorang cowok yang sedang menatap dirinya. Mata mereka bertemu dan cowok itu melambaikan tangan padanya. Rhea tertegun. Kayaknya dia ngga kenal dengan cowok itu. Tapi merasa sudah disapa duluan, Rhea pun tersenyum dan membalas lambaian tangan anak itu. Hp yang ada di tangannya pun terlupakan.

***

“Ma, Rhea main di luar yah..” seru Rhea sembari berlari ke tempat Mamanya membaca majalah. Ia langsung menaruh begitu saja hp yang sedari tadi ia pegang di meja.

Mamanya mengernyitkan dahi. “Main di luar? Sama siapa?”

“Ada temen. Kita mau main di lapangan. Bentar doang kok.. Ya? Ya?” pinta Rhea.

“Rhena ngga diajak?” tanya Mamanya lagi.

“Ah, dia lagi sibuk beberes..” gerutu Rhea. “Boleh kan, Ma, Rhea main?”

Mamanya menghela napas. “Ya sudah, tapi pulangnya jangan malam-malam yah..”

Rhea tersenyum cerah. “Oke deh!” Ia pun kembali berlari kecil keluar rumahnya dan pergi bermain dengan teman barunya. Rhena baru turun ke bawah setelah Rhea pergi keluar sekitar 1 jam. Ia membawa koper berisi peralatan menginapnya. Ditaruhnya koper sedangnya di ruang tamu. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Ree?” teriak Rhena. Sunyi. Tidak ada jawaban. “Rhea?” panggilnya lagi. Masih tidak ada jawaban. “Ma, Rhea kemana?” serunya sembari mencari Mamanya. Ternyata Mamanya ada di dapur. “Rhea mana, Ma?” tanyanya lagi.

“Main keluar.” Jawab Mamanya. “Sama temen katanya. Main di lapangan.”

Rhena mengernyitkan dahi. Teman? Siapa?

“Rhena mau ikut main ke lapangan?” ujar Mamanya melihat Rhena diam. “Tapi tadi Om Theo ngabarin katanya sudah lagi jalan ke sini.”

“Iya? Jemy diajak ngga, Ma?” seru Rhena antusias. Rhea dan teman yang ia tidak ketahui siapa itu pun terlupakan seketika.

***

Rhea melihat jam yang tergantung di dinding. Jam 2.50. Ia berlari kecil ke ruang tamu. Sambil berlutut di atas sofa, ia membuka gorden dan menatap keluar rumah. Padahal pintu rumah terbuka lebar, tapi entah kenapa dia selalu melihat keluar melalui jendela.

Setelah beberapa menit menunggu, barulah dilihatnya seorang anak cowok berjalan dan berhenti tepat di depan rumahnya. Matanya langsung menghadap ke arah jendela, seakan sudah tahu kalau Rhea pasti menunggunya di situ. Ia melambaikan tangan saat melihat Rhea.

Rhea tersenyum cerah. Tanpa membalas lambaian tangan anak cowok itu, ia masuk ke dalam mencari Mamanya. “Ree main dulu yah, Ma..” pamitnya.

“Jangan pulang malam-malam yah.. Kalau sudah mendung langsung pulang.” Mamanya tidak bosan-bosannya mengulang kata-kata itu setiap kali Rhea pamit untuk main.

“Siap bos!” sahut Rhea sambil nyengir. Ia berlari keluar rumah. “Yan!” sapanya pada anak cowok di depannya, yang selalu dengan sabar menunggu Rhea keluar dari rumah.

Shesyan tersenyum. Mereka pun berjalan beriringan ke lapangan. Di lapangan, Nathan sudah menunggu sambil bermain basket sendirian. Ketika dilihatnya Shesyan dan Rhea masuk ke lapangan, ia langsung mengoper bola basketnya ke Shesyan. Shesyan cepat tanggap dan men-dribble bolanya perlahan sambil berjalan menghampiri Nathan. Tidak mau kalah, Rhea ikut lari mengikuti kedua temannya itu.

Karena mereka hanya bertiga, jadi Rhea yang menentukan mau satu tim dengan siapa. Sisa satunya yang akan menjadi lawannya. Pernah Shesyan ngajak hom-pim-pah. Maksudnya sih biar adil.. Tapi Rhea selalu menolak. Ia memilih untuk memutuskan sendiri siapa yang akan jadi teman satu timnya. Karena Rhea keras kepala, Shesyan pun hanya bisa menuruti kemauannya. Sedangkan Nathan? Cowok cuek satu ini sih tidak perlu ditanya..

***

“Halo, Ree.” Terdengar suara Mamanya setelah Rhena menjawab panggilan masuk. Mamanya memang selalu memanggil dirinya dan Rhea dengan panggilan yang sama. Terkadang kalau mereka berdua menoleh, barulah nama panjang mereka yang disebut. Hanya Rhea seorang yang memanggil Rhena dengan panggilan ‘Na’.

“Iya, Ma. Kenapa?” tanya Rhena.

“Kamu pulang besok pagi yah Ree.. Rhea sakit.. Tadi—”

“Hah? Sakit apa, Ma?” Belum selesai Mamanya berbicara, Rhena sudah memotong terlebih dahulu karena kaget. Om Theo dan Tante Nina sampai menoleh padanya.

“Badannya panas, terus katanya kepalanya pusing. Mama sudah bilang kalau badannya masih panas dan keringetan, jangan mandi dulu. Tapi Rheanya bandel. Dari tadi dia nanyain kamu. Kangen sama kamu juga kali Rheanya.” Mamanya menjelaskan dengan sabar.

Rhena memilin kaus piyamanya. Kasihan Rhea.. “Ya udah, Ma besok Rhena pulang.. Papa jemput?” Rhena tidak terlalu mendengar jawaban Mamanya karena matanya melihat Om Theo memberi kode agar Rhena memberikan hpnya padanya. Rhena menurut.

“Halo, Kak An? Yang sakit siapa, Kak? Rhea?” tanya Om Theo pada Mamanya. Karena nama tengah Mama Rhena dan Rhea itu Andhara, jadi yang lebih muda dari Mamanya selalu memanggilnya dengan panggilan ‘Kak An’.

“Iya. Badannya panas sejak sore tadi.” jawab Mamanya di telepon. “Dia nanyain Rhena melulu. Ngga apa-apa yah Rhena pulang besok? Nanti Ardy yang jemput. Dia bisa ijin masuk siang.” Mamanya menoleh sekilas ke suaminya yang sedang mengusap-usap kepala Rhea yang tertidur pulas dengan lap kecil di dahinya.

Lihat selengkapnya