Rhea membuka matanya. Rhena yang sedari tadi mengamati dirinya langsung lompat berdiri dan tersenyum bahagia. “Ma! Pa! Rhea udah bangun!” serunya sambil menoleh. Mama dan Papanya sedang tertidur di sofa yang disediakan Rumah Sakit. Mereka langsung terbangun ketika mendengar suara Rhena, kemudian cepat-cepat menghampiri ranjang Rhea.
“Rhea! Sayang.” Panggil Mamanya dengan suara serak. Ia sudah hampir menangis lagi. Rhena mengusap-usap punggung Mamanya, sedangkan Papanya segera memencet tombol untuk memanggil suster.
Rhea hanya diam. Matanya beralih menatap Rhena, Mamanya, lalu Papanya. Ia meringis. “Kepala Rhea sakit.” Ucapnya dengan suara pelan. Matanya terpejam. “Kaki Rhea juga sakit.” Lanjutnya. Ia menelan ludah. Kerongkongannya terasa sangat kering.
“Iya, ngga apa-apa, Sayang. Sebentar lagi suster datang, yah..” ujar Mamanya. Dielusnya kepala Rhena dengan amat hati-hati.
Rhea tidak menjawab. Kepalanya pusing dan terasa sakit. Begitu juga dengan sekujur badannya. Tapi yang paling terasa sakit adalah kakinya yang sebelah kiri. Ia membuka mata perlahan. Saat itulah ia baru melihat kakinya yang dibalut perban dan diangkat naik dengan apa itu, dia tidak tahu. Ia menoleh ke Mamanya. “Kaki Rhea kenapa, Ma?” tanyanya.
Mamanya belum sempat menjawab ketika pintu diketuk sekali dan langsung dibuka. “Permisi, ada panggil suster yah?” tanya seorang suster muda yang baru masuk itu.
“Pasiennya udah bangun, Sus. Kepala dan kakinya sakit katanya.” Ujar Papa Ardy menjelaskan. Ia bergeser agar suster yang datang itu bisa mendekati Rhea.
Suster itu mengecek kondisi fisik Rhea dan menanyakan beberapa pertanyaan. “Istirahat lagi dulu yah.. Boleh minum air putih tapi sedikit-sedikit. Kalau mual, dimuntahkan saja.” Ia beralih ke Papa Ardy dan Mama An. “Biarin istirahat dulu yah, Pak, Bu.. Jangan terlalu banyak diajak ngobrol dulu. Nanti dokter akan datang untuk ngecek.” Ucapnya.
Papa Ardy dan Mama An hanya bisa menganggukkan kepala. Suster itu pun pamit dan keluar dari kamar. Keadaan kembali hening. “Istirahat, Ree.” Rhena menggenggam tangan Rhea dan meremasnya perlahan. Rhea tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata dan tak lama ia pun kembali tertidur.
***
“Ree, abis makan mandi kamu tidur dulu aja yah istirahat.. Kamu juga kurang tidur kan selama di Rumah Sakit..” Mama An menaruh gelas berisi air putih di samping piring Rhena. Mereka baru saja kembali ke rumah. Papa Ardy hanya mengantarkan mereka tadi dan sekarang sudah dalam perjalanan ke Rumah Sakit lagi. Sementara Om Theo dan Tante Nina yang menemani Rhea di Rumah Sakit.
Rhena tidak menjawab. Ia memang merasa lelah tapi kalaupun bisa tidur rasa-rasanya ia tidak akan tidur nyenyak. Sudah 3 hari ia menginap di Rumah Sakit. Karena itu hari ini Mamanya memaksanya untuk pulang. Mamanya tidak tega melihat Rhena harus tidur di sofa, mandi dan makan pun hanya ala kadarnya.
Mama An langsung pergi ke kamarnya setelah menyediakan makan dan minum untuk Rhena. Ia harus mandi lalu membereskan pakaiannya dan Ardy, lanjut mengurus pakaian untuk Rhena dan Rhea. Rhena mengajaknya makan bersama tadi tapi ia tidak merasa lapar. Jadilah ia menyuruh Rhena makan duluan.
Rhena makan perlahan karena sebetulnya ia juga tidak terlalu lapar. Selesai makan dan minum, ia membawa peralatan makan kotornya ke dapur. Dicucinya piring, gelas, dan sendok yang ia pakai tadi. Kemudian dia naik ke kamarnya sendiri dan mandi. Namun setelah mandi, Rhena malah turun kembali ke bawah. Ia berjalan ke teras rumah dan duduk di salah satu kursi di sana. Matanya menerawang.
“R—e. Ree!” Rhena tersentak kaget ketika ia mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh ke sumber suara dan melihat Nathan berdiri di depan pagar rumahnya. Ia tertegun tapi kemudian berdiri dan menghampiri Nathan.
Rhena melambaikan tangannya sekilas dan tersenyum. “Hi.” Sapanya.
Nathan diam saja. Wajah Rhena terlihat murung. “Kamu kenapa?” tanyanya.
“Aku ngga apa-apa.” Sahut Rhena.
Nathan kembali terdiam. Sebetulnya ia tidak tahu dia ngobrol dengan siapa. Ree yang biasa bermain dengannya kah? Atau saudaranya? Ia tidak bisa, atau belum bisa, membedakan mereka berdua karena kemiripan mereka. “Yan nyariin kamu. Dia bingung kenapa kamu ngga pernah muncul waktu dia mau jemput.”
“Oh.” Rhena langsung teringat pada Rhea. “Maksud kamu, dia nyari Rhea yah?”
Ah, jadi yang di depannya ini Rhena? “Kalian mirip banget yah.. Aku ngga bisa bedain.” Ujar Nathan tanpa menjawab pertanyaan Rhena.
Rhena tersenyum kecil. “Aku sama Rhea kan saudara kembar.”
Mata Nathan membulat. “Oh, kalian kembar? Pantesan mirip banget.” Sahutnya. “Emang kamu sama Rhea kemana aja selama ini? Beberapa kali aku ke sini, baru kali ini ketemu kamu.”
“Itu—“
“Ree!” panggilan Mamanya membuat Rhena menoleh. Mamanya keluar dari rumah dan menghembuskan napas lega melihat Rhena. “Jangan keluar rumah yah..” ucapnya. “Sebentar lagi Papa jemput.” Setelah dilihatnya Rhena mengangguk, Mamanya pun masuk kembali ke dalam rumah.
“Aku masuk dulu yah..” pamit Rhena. “Salam buat Yan.”
“Yan udah balik ke Jakarta.” Ujar Nathan pelan. “Kemarin.”
Rhena tertegun. Berarti dia ngga bisa ketemu Yan lagi? “Oh, gitu.” Ia dan Nathan terdiam. “Ya udah, aku masuk dulu yah..” Rhena kembali pamit. Ia sudah tidak tahu mau ngomong apa. Sepertinya Nathan juga demikian. Dilihatnya Nathan hanya mengangguk. Ia pun melambaikan tangan dan masuk ke dalam rumah.
***
Rhena berjalan pelan ke ruang rawat Rhea. Saat membuka pintunya, Rhena mendengar suara Mama dan Papanya yang sedang ngobrol. Sepertinya Rhea sedang tidak di kamarnya. Mungkin sedang fisioterapi. Tanpa sadar Rhena berhenti dan malah mendengarkan pembicaraan Mama dan Papanya.
“Tapi kalau di sana, nanti Rhea sama siapa, Dy?” Terdengar suara Mamanya.
“Ada Kak Matthew sama istrinya. Kamu juga sementara tinggal di rumah mereka aja.” Sahut Papanya. “Aku sudah sempat ngobrol dengan mereka dan mereka oke.”
“Aku ngga mau kalau nyusahin mereka.” Keluh Mamanya.
Papanya terdiam sebentar. “Kemarin aku sudah coba cari rumah. Ada yang over kredit deket-deket situ. Gimana? Mau itu aja?”
“Kamu sudah cek keuangan kita? Berat ngga kalau kita harus bayar kredit lalu perawatan dan terapinya Rhea. Belum biaya sekolah Rhena. Kalau dia harus pindah sekolah, kita harus bayar uang gedung dan lain-lainnya lagi.” Ujar Mamanya.
Rhena mengernyitkan dahi. Pindah sekolah? Kenapa tahu-tahu Mama dan Papanya membicarakan masalah pindah? Rhena sengaja membuka pintu kamar ruang rawat Rhea lebih lebar sehingga menimbulkan bunyi. Sontak Mama dan Papanya menoleh.
“Rhena.” Sapa Mamanya. “Om Theo sama Tante Nina mana?”
“Langsung pulang. Tadi mereka minta Rhena kasih tau Mama sama Papa.” Jawab Rhena. Ia masuk dan duduk di ranjang Rhea yang kosong. Tadi ia habis makan siang bareng Om Theo dan Tante Nina karena Mama dan Papanya sudah makan siang duluan. Mereka terdiam sesaat. “Kita mau pindah, Pa?” tanya Rhena perlahan.
“Ah, itu baru wacana saja..” jawab Papanya. “Teman Papa ada yang rekomendasiin Rumah Sakit bagus di Jakarta. Bisa saja kita ngga pindah. Hanya Rhea dan Mama yang sementara tinggal di Jakarta. Tapi yah,” Papanya menghela napas. “Papa sama Mama belum bisa ambil keputusan. Masih banyak yang harus dibicarakan.”
Rhena termenung. Mamanya melihat itu dan menghampirinya. Diusap-usapnya pucuk kepala Rhena. “Sudah. Rhena ngga perlu pusing. Cukup Mama dan Papa yang mikirin ini. Rhena cuman perlu tahu apapun keputusannya nanti pasti Mama dan Papa sudah pikirin yang terbaik untuk Rhena juga Rhea.” Rhena melihat Mamanya tersenyum. Ia pun ikut tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
***
“Ree, sudah selesai packing nya?” seru Mamanya dari lantai bawah.
“Bentar lagi, Ma.” Sahut Rhena. Ia tengah memasukkan buku-buku pelajarannya yang tersisa ke dalam tas. Kamarnya sudah kosong. Selesai memasukkan buku terakhirnya, ia menggendong tas itu lalu mengedarkan pandangannya ke penjuru kamarnya. Ia menghela napas panjang. Ia tidak akan bisa melihat kamar ini lagi jika rumahnya terjual.
Sudah sebulan lebih ia tinggal bersama keluarga Om Theo. Dan itu akan terus berlanjut sampai kenaikan kelas. Mama dan Papanya sudah memutuskan membeli rumah di Jakarta. Perawatan dan terapi Rhea juga akan dipindah ke Rumah Sakit yang direkomendasikan temannya Papa. Untuk pekerjaan, untungnya atasan Papa memperbolehkan Papa pindah ke cabang di Jakarta jadi Papa tidak perlu bolak-balik Jakarta-Bogor.
Karena tahun ajaran baru sudah dimulai dan Rhena harus masuk sekolah, maka Papanya minta Rhena untuk tinggal di rumah adiknya sementara Mama, Papa, dan Rhea sudah di Jakarta. Rhenanya sih setuju saja dengan keputusan Papanya..
Pertama, ia sudah akrab dengan Om Rheo, Tante Nina, apalagi Jemy. Jadi ia tidak keberatan jika harus tinggal dengan mereka. Selain itu, Mama dan Papanya akan ke Bogor setiap weekend. Kedua, mau tidak mau ia memang harus sekolah di sekolah lamanya. Papa sudah mengajukan permintaan cuti untuk Rhea pada sekolah dan membicarakan kemungkinan pindah sekolah setelah Rhea pulih. Untungnya sekolah mereka mengabulkan permintaan itu setelah mendengar cerita Papa tentang Rhea. Ketiga, Papa juga sudah membicarakan kemungkinan pindah sekolah ke Rhena saat dia naik kelas 6 nanti. Jadi mereka akan tinggal bersama lagi.
Rhena turun ke bawah dengan tas gendong di punggung dan tas lumayan besar di tangan kanannya. Dibawanya tas-tasnya masuk ke dalam mobil. Tak lama Papanya keluar dari rumah dengan membawa kardus besar. Dimasukkannya kardus itu ke bagasi. Ia menghela napas panjang. “Selesai juga. Kamu sudah selesai, Ree?” tanyanya pada Rhena.
“Udah, Pa.” jawab Rhena.
“Ya sudah, kamu tunggu di mobil saja yah.. Papa panggil Mama dulu.” Papanya langsung masuk ke rumah dan meninggalkan Rhena sendirian.
Rhena masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang di depan. Ia menutup pintunya dan menurunkan jendela hingga mentok. Ia menopang dagu dan menatap jalanan di depannya dalam diam. Padahal rasanya baru kemarin ia main bareng Nathan dan Yan. Tapi ternyata itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya.