Orang dengan kepala setengah botak, rambut putih, kacamata tebal dan titel berbaris di belakang papan nama yang selalu diselipkan di jasnya. Manusia menyedihkan. Puluhan tahun dihabiskan hanya untuk mempelajari sifat manusia, hal paling abstrak dalam dunia.
“Apa kabar Dewa?” dia meletakkan tasnya di samping kursi kayu.
Aku meraba tekstur meja kayu yang terletak di depan dapurku ini. Aku tidak pernah suka meja ini. Aku pernah memotong salah satu kakinya dengan pisau dapur hingga patah tapi Indah memperbaikinya dan aku terjebak dengan meja kayu ini. Koreksi. Terjebak dengan meja kayu dan psikiater busuk yang otaknya tertinggal di almamaternya.
“Apa kamu masih sulit tidur?” dia memutar-mutar bulpoinnya, tersenyum palsu padaku. Belajar puluhan tahun dan masih belum bisa mengaplikasikan cara tersenyum tulus.
Aku menyobek bukuku. Melanjutkan menyelesaikan rumus Schrodinger.
“Dewa, apa kamu mendengarkanku?”
Aku menggaruk kepalaku dengan ujung pensil. Apa yang harus kulakukan setelah langkah ini? Kenapa tidak ada jawabannya. Kenapa hasilnya tetap nol?
“Dewa? Bisa kamu lihat mataku dan dengarkan aku?”
Berisik! Aku membanting pensilku ke lantai, menatapnya tak senang. “kita tidur sembilan bulan sebelum brojol dan jutaan tahun setelah mati. Di tengah-tengahnya apa masih perlu tidur?”
“Manusia perlu tidur untuk kesehatan. Itulah yang selama ini menganggumu dan membuat emosimu tidak stabil, karena kamu kurang tidur.” Dia mengambil buku resep lalu menuliskannya, “akan aku beri obat agar tidurmu lebih nyenyak malam ini. Akan kuberikan resep ini pada Indah, biar Indah yang membawa obat ini. Kita tidak ingin kejadian overdosis obat terulang lagi, bukan?”
Dia berhenti sejenak, menatap tanganku yang sedari tadi tremor. Kusembunyikan tanganku di bawah meja.