Past Infinity

Enya Rahman
Chapter #4

3

Rynda, sepupuku, pernah hampir mendobrak pintu kamarku karena mengira aku menimbun mayat di dalam kamar:

Well, dari perawakanmu siapa yang nggak curiga ada mayat di kamarmu?” Rynda berkata tajam, berusaha membuka pintu kamarku. Tapi tetap saja, tidak akan berhasil. Aku sudah memasang dua selot pintu dari dalam. Lagipula orang bodoh macam apa yang menimbun mayat di dalam kamar? Tiga hari bau menyebar dan bam si pembunuh ditemukan. Bodoh. 

Aku tidak ingin Rynda menurunkan kertas-kertas folio yang kuselotip di dinding kamar berisi rumus yang belum kuselesaikan—harus kuselesaikan—dengan alasan tidak artistik dengan interior. Memunyai sepupu interior designer sangat menganggu dan menyebalkan, terutama ketika mereka mengintervensi penampakan rumah karena teori-teori yang telah mereka pelajari. 

Dapat kudengar suara Rynda yang ribut di luar dengan seseorang. Aku menyesal memberikan kunci apartemen padanya, membuat Rynda sibuk membawa teman-temannya ke sini meskipun berkali-kali kuusir mereka. Kalau saja dia bukan sepupuku.

Aku mengambil buku catatan tebal yang terbuka di atas tempat tidurku. Kuamati beberapa angka yang semalam sudah kuberi stabilo, obat membuatku susah berpikir. Aku mengambil rokok yang ada di sebelah ranjang, menyulutnya lalu segera menghisapnya dalam-dalam.

Jika saja aku menggunakan matlab untuk menyelesaikan ini tidak sampai lima menit soal ini selesai. Jangan percaya pada mesin, mesin buatan manusia apalagi hanya software. Kerutan otakku jauh lebih banyak daripada kabel-kabel mesin itu. 

Aku melemparkan pandangan ke langit, chaotic, chaotic. Harus menggunakan berapa kali fourier untuk menyelesaikan kasus ini. Ah! Terserah saja!

Kulempar buku catatanku ke jendela, menimbulkan bunyi keras. Aku menghisap rokokku lebih dalam. Fisika sialan.

Tapi toh pada akhirnya aku tetap mengambil kembali buku catatanku, menghitung lagi apa yang salah hingga tidak kutemukan jawabanku. Hitunganku? Penurunankah? 

Kuketuk-ketukkan kepalaku ke jendela seukuran tubuhku ini. Beranjak untuk membuka balkon, mungkin udara segar baik untuk rumus ini, dan pikiranku tentunya. Kusandarkan tubuhku ke railing sambil menghirup polusi udara Surabaya dalam-dalam, jam sebelas siang bukan saat tepat untuk menikmati Surabaya dari lantai tujuh.

“Om Dewa.” Mendengar suara yang sangat kukenal itu membuatku menyesali membuka jendela balkon. 

Rangga, anak tetanggaku yang seorang simpanan anggota DPRD. Empat tahun. Dia menjulurkan kepalanya diantara teralis balkon, menghadap ke arahku.

Aku tak berniat menanggapi. Aku berbalik menjauhinya.

“Om, Rangga ke sana ya?” 

Lihat selengkapnya