Kutarik ponsel Rynda, mengarahkannya pada telingaku, “terima kasih untuk satu sperma yang sudah kamu korbankan hingga aku seperti sekarang.”
“Jutaan,” jawabnya cepat. Suaranya masih sama seperti itu, menyedot perhatianku agar terus mendengarkan, “jutaan sperma bertarung dan tersisa satu agar bisa mendapatkanmu. Jadi, bagaimana kabarmu?” Sialan.
Aku berdecak sinis, “lalu kamu akan tanya gimana kuliahku? Apa dosennya killer? Apa ada masalah? Apa ada cewek yang kamu taksir? Sorry, I don’t have time for your shit.”
“Kenapa kamu tidak sopan dengan Baba? Baba hanya ingin tahu kabar anak Baba.” Suaranya terdengar datar. Tipuan lagi? Aku sudah hafal dengan semua tipuanmu. Hafal sekali.
“I’m flattered that you still care of me …,” aku tersenyum, “mate.”
“Jangan panggil Baba seperti memanggil temanmu, Dewa.” suaranya masih tetap tenang, tapi aku bisa membaca getaran panik di dalamnya, “oh ya, tiga jurnal Baba berhasil masuk Elsevier lagi. Siapa tahu kamu ingin membacanya dan tertarik dengan biomolekuler.”
Sejak SD aku muak dengan biologi. Dia yang membuatku membenci biologi. Ditambah buku-buku pelajaran Indonesia yang tekstual tidak aplikatif. Setiap pelajaran biologi aku lebih memilih tidur daripada mendengar nama-nama latin dan teori adaptasi apalah, telingaku gatal mendengarnya. Jika SMP aku mengikuti akselerasi karena guru-guru memaksaku ketika SMA aku ikut akselerasi karena itu satu-satunya cara tercepat agar biologi hilang dari hidupku.
Ketika pengambilan rapor yang ditanyakan guru-guruku—terutama guru biologi—adalah, “jadi anak prof Muh harusnya nilai biologimu lebih bagus dari ini, kenapa nilai biologimu bisa begini?”
Aku tidak ingin menjawab tapi karena semua perbandingan memuakkan yang tidak relevan itu membuat darahku tiba-tiba panas aku berkata, “saya benci biologi.”
Dan aku menyesali menjawabnya karena guruku kembali menyahut, “lho anaknya prof Muh kok nggak suka biologi toh?” Jadi anak tukang susu juga harus suka susu? Bagaimana kalau dia alergi protein susu sapi?
Peduli setan kalau dia Profesor biomolekuler, peduli setan kalau dia guru besar ITB, kepala bidang biologi LIPI dan tetek bengek lainnya yang mengekor di belakang namanya. Peduli setan.
Aku juga tak akan pernah melupakan kejadian sewaktu SMP. Kejadian yang membuktikan pemuja biologi semuanya pembohong.
Saat itu aku dipanggil guru biologi, disidang di ruang guru hanya karena bukannya menyilang jawaban yang tepat aku justru menulis: tolong berhenti membohongi murid-murid dengan soal seperti ini. Terima kasih!