Past Infinity

Enya Rahman
Chapter #6

5

Jangan membantah Baba adalah kalimat favoritnya untukku. Jangan membantah Baba maka aku kembali ke Bandung dari Oxford, Inggris. Jangan membantah Baba maka aku hampir masuk ITB. Jangan membantah Baba maka aku terjebak di Surabaya, di universitas Airlangga, tempat dimana fisika yang sejatinya akar utama ilmu dibandingkan kedokteran dianak-tirikan, tenggelam diantara jurusan-jurusan lain. 

Bertemu Pak Prapto, pembimbing kampus untuk IPhO juga pembimbing skripsiku, hanya butuh waktu lima menit. Pak Prapto dengan wajah kalem dan predikat kalem dalam memberi nilai pula ini memberi setumpuk soal-soal padaku.

“Nanti kita bahas bersama soal-soal yang kemarin.” Kata Pak Prapto.

Aku meraup setumpuk soal itu tanpa berniat menyahuti.

“Bagaimana proposalmu? Sudah sampai mana?” Pak Prapto mengeluarkan sebuah jurnal dari dalam laci mejanya; meja Pak Prapto dipenuhi dengan kertas-kertas tugas mahasiswanya, juga beberapa surat hingga hanya tersisa sedikit tempat kosong.

“Salah satu teman bapak di Jerman meminta bapak mencari satu mahasiswa Indonesia untuk dikirim ke sana. Bapak merekomendasikan kamu.” Pak Prapto memberikan jurnalnya padaku.

Jurnal biomaterial implant. Dia sedang bercanda.

“Kamu tahu sendiri universitas kita maju dalam hal medis bagaimana kalau proposalmu yang berbau teori itu kamu sisipkan sedikit biomaterial? Kebetulan teman bapak di Jerman ingin orang material.”

“Bapak bercanda,” desisku. “Saya tidak mau.” Aku menggeleng.

“Teori material, bukan sepenuhnya material murni.”

“Saya tidak mau.” Aku bersikukuh.

“Banyak yang menginginkan S2 di luar negeri dan bapak dengan senang hati merekomendasikan kamu. Kamu hanya harus mengubah sedikit skripsimu nanti, lagipula beasiswa di teori tidak sebanyak di bidang lain.”

“Saya. Tidak. Mau.” Aku mendorong proposal itu ke depan Pak Prapto lagi. 

“Mahasiswa S1 seperti kamu masih belum pantas bersikap idealis!” pak Prapto berdiri, “semua yang ingin mendapat beasiswa harus dapat rekomendasi. Tidak akan ada yang akan merekomendasikan kamu kalau sikapmu terus seperti ini.”

“Ini skripsi saya, saya yang berhak memilih apa yang akan saya teliti bukan teman bapak atau bapak.” Aku hampir meneriaki Pak Prapto lalu aku memilih untuk keluar dari ruangannya. Kutinggalkan tumpukan soal-soal IPhO di mejanya. 

Aku tidak berminat dengan Jerman. Terlebih jika harus meneliti biomaterial. Peduli setan dengan beasiswa itu. Sudah cukup pemuja biologi itu mendikteku untuk masuk universitas ini.

“Dewa!” itu suara Bian, orang yang selalu mensontek tugas-tugasku dan juga kuis serta ujian. Balasannya aku selalu dia TA-kan dan dia sediakan tempat duduk paling belakang di sampingnya. Hanya sebatas itu, “mau ke kelas zadat, kan? Ayo bareng.” Bian merangkulku.

Kulepaskan rangkulan Bian. Tidak berminat menjawab pertanyaannya, sudah cukup pak Prapto mengeruhkan hariku tidak usah ditambahi drama kamu-kan-temanku ala Bian. Aku berjalan mendahului Bian, duduk di kursi paling belakang seperti biasa. 

Berpura tidur untuk menghindari obrolan dada siapa yang paling besar di kelas ini seperti biasa, aku baru saja benar-benar tertidur ketika Bian menggoyang pundakku.

“Katanya kamu dulu sempet kuliah di NTU ya?” serunya, mengundang orang lain untuk berbalik padaku, menodongku agar bercerita.

Kutelungkupkan kepalaku, hanya menjawabnya dengan anggukan.

“Keren, gimana kuliah di sana? Enakan mana sama di Unair?”

Lihat selengkapnya