I need that Xanax shit. Aku berlari setelah sampai di apartemenku yang berada di Margorejo, 45 menit menggunakan sepeda angin ke Mulyorejo, kampus C Unair. Harusnya aku menemui psikiater sampah itu untuk mengambil Xanax.
Dari balik meja satpam aku melihat anak lelaki berlari, tersenyum padaku sambil melambaikan tangannya. Ketika aku mengulurkan tanganku untuk menerima tangannya aku berada di ruangan abu-abu. Anak lelaki yang kini bersama anak perempuan kecil menarik kedua tanganku, membawaku berlari keluar ruangan abu-abu.
Aku dibawa mereka ke sebuah rumah terbuat dengan dinding berwarna pasir, ini bukan di Indonesia. Di lantai dua rumah aku melihat siluet wanita sedang mengepang rambutnya.
“Mas Dewa.” suara wanita itu terdengar seperti Sean, tetanggaku yang juga simpanan anggota DPRD dan kegemarannya bertengkar baik dengan suami atau bapaknya. “Mas Dewa.”
Ruangan abu-abu seketika lenyap, berganti lobbi apartemenku. Aku mengambil kesadaranku untuk berbalik dan mendapati Sean berdiri di dalam elevator, menahan pintu elevator agar tidak tertutup untukku.
“Mau ikut nggak?” tanyanya sedikit enggan.
Aku berjalan ke elevator. I really need that shit. Kumasukkan tanganku yang tremor ke dalam saku celana, segalanya berputar di hadapanku dan aku merasa Sean mengamatiku curiga. Ketika aku menoleh Sean ternyata asyik dengan ponsel pintarnya.
Sayup-sayup kudengar suara televisi dari dalam apartemen ketika aku membuka pintu. Siapa? Aku mendapati seseorang duduk di sofa merahku, popcorn ada di tangannya dan sinetron murahan dengan bahasa planet menyala. Dia! Aku akan menjambak rambutnya tapi ujung mataku melihat botol Xanax yang tersembunyi di dalam lemari bumbu transparan.
“Hey.” dia menyapaku.