Seperti di dalam lukisan aku berdiri di tepi sungai berair jernih, aku bisa melihat ikan berenang di dalamnya. Beberapa meter dari tempatku berdiri terdapat jembatan dari besi yang dipenuhi oleh domba-domba gemuk. Di seberang sungai aku melihat tebing batu besar dengan dandelion memenuhi dinding tebing, di atas tebing bisa kulihat ujung berwarna hijau. Udara di sini sangat dingin dan tiba-tiba aku memakai sweater garis abu-abu usang kekecilan.
Tubuhku mengecil dan gadis kecil yang selalu ada di dalam mimpiku—dan apartemenku—bermain ayunan di pohon oak yang ada di belakangku. Dia menunjuk ke arah jembatan, ketika kuarahkan mataku mengikuti jarinya aku melihat anak lelaki yang beberapa tahun lebih tua dari gadis kecil itu berjalan dengan menyanggul alat pancing di bahunya. Fares. Dan gadis kecil itu pasti Vivian.
Mimpi. Jelas ini satu dari sekian banyak mimpi-mimpiku. Mimpi yang belakangan ini menyerangku bahkan ketika mataku terbuka. Juga kedua makhluk kecil yang makin sering berkeliaran di apartemenku itu. Ah, kini aku mengenali mereka. Dewa dan Vivian; itu nama mereka.
Seseorang menangis. Kurasakan tepi sungai ini dipenuhi suara tangisan dan seseorang berteriak, “bangun!”
Ketika aku membuka mata kutemukan diriku di ruangan berwarna biru dengan sesuatu yang mengganjal di hidungku, cepat kutarik sesuatu yang kukenali sebagai selang oksigen itu. Aku menoleh ke samping, mendapati Ara menangis di sana dengan tangan dibebat. Aku mencoba menyentuh tangannya yang dibebat tapi Ara mengangkat kepalanya, membuatku meletakkan lagi tanganku dengan cepat.
“Aku minta maaf.” Ara menangis lagi.
Aku ingin mengatakan ini bukan kesalahannya tapi kepalaku terasa berat, aku menutup mataku. Baik di Bandung ataupun di Oxford dulu aku sering mengalami ini.
Ketika aku terlalu lelah menangis untuk alasan yang tak pasti aku akan berakhir di rumah sakit. Atau ketika psikiater mulai bertanya-tanya mengenai Turki, aku berakhir di rumah sakit. Kadang aku ingin tahu apa yang terjadi antara aku dan Turki, tapi sebagian besar aku tidak ingin tahu. Aku muak dengan rumah sakit, benci dengan baunya, lelah dengan rumah sakit. Jadi, jika tidak ingat Turki tidak membawaku ke rumah sakit, itu lebih baik.
AC di apartemenku menunjukkan angka 24oC, aku menarik selimutku hingga ke atas leher. Kujatuhkan kepalaku yang masih berat ke arah televisi layar datar di depanku. Aku tidak ingin lama-lama di tempat itu maka kupaksa Ara untuk membawaku pulang, meski dia mengancam menelepon Rynda yang sedang di luar kota agar aku tetap diam di tempat. Satu jam setelah aku keluar dari rumah sakit kutemukan diriku tertidur di atas sofa.