Awalnya kukira si reinkarnasi Vivian itu tidak akan kembali lagi setelah kemarin dia kuusir keluar apartemen sebelum menyelesaikan curhatnya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu siang ketika kulihat pintuku dibuka.
“Keluar.” Kataku sesaat setelah dia membuka pintu. Semua langkah rumus yang sudah tersusun di kepalaku hancur ketika pintu berderit dan muncul wajahnya serta rambut yang selalu dikepang itu.
“Hai, maaf baru datang, baru selesai kuliah. Dosenku yang ngajar tadi bener-bener ngebosenin.” Ara meletakkan tas kresek besar di depan pintu, membenarkan posisi tas selempangnya untuk kemudian berjalan ke dapur. Tangannya yang masih dibebat selalu memenuhi mataku.
“Apa aku menyuruhmu masuk?”
Ara menyeruak ke hadapanku, meneliti mataku, “kamu belum tidur ya?” tanyanya yang tanpa menunggu jawaban langsung bergerak ke depan kompor.
“Hei!” panggilku, lebih ke berteriak.
“Ya ampun!” Ara meremas kepalanya, “aku lupa beli telur, mau masak apa tanpa telur?”
“Hei!!” kulemparkan bulpoin yang kupegang tepat mengenai kepalanya.
Ara mengelus kepalanya yang terkena lemparan, “aku buatin kopi dulu aja ya? Kopi Turki. Kamu tau kopi Turki itu ada kacang pistachionya, jadi aromanya tambah enak.” Dia mengangkat telunjuknya ke atas, “abis ini beli telur, aku mau masak enak, masakan Turki.”
Dia! Aku menarik lengannya, menyeretnya yang masih menceritakan makanan Turki yang bisa dia masak, memangnya dia pikir dia Pak Bondan? Sampai di depan pintu kutatap dia tajam, “keluar dan jangan kembali!”
“Aduh mas-remaja-labil maaf sebelumnya tapi tolong jangan ganggu usaha saya untuk ketemu Mama. Jadi anak manis aja ya? Hanya sampai saya terbang whusshh ke Uganda.” Dia mengatupkan kedua tangannya.
Setelah si-manja sekarang mas-remaja-labil? Aku bahkan belum beri pelajaran dia atas panggilan objektif yang sok tahunya. Rasanya aku ingin meremasnya, melemparkannya ke dinding lalu menguburnya di bawah lantai kamar. Aku menghela nafas, aku tahu.