“Kenapa kamu memanggilku kanka?” kataku begitu menarik Ara keluar dari mobil dan menyelesaikan masalah dengan air bag sialan dari mobil itu. Kanka adalah bahasa Turki untuk sobat, demi Fourier dan rumus temuannya yang super panjang aku mendengar Vivian dalam suaranya. Vivian yang tak pernah memanggilku abi atau abang melainkan kanka.
Jika bola mata orang menatap ke kiri atas maka dia berbohong, seperti yang Ara lakukan sekarang. Dia berpikir, mengangkat bola matanya ke kiri atas, Ara mengerang frustrasi akhirnya mendorong dadaku hingga aku tersungkur, “apa maksudmu? Kamu hampir membunuhku! Hampir membuatku mati sebelum nikah dan seenaknya tanya kenapa aku memanggilmu kanka?! Aku bisa nuntut kamu atas percobaan pembunuhan!”
“Kenapa kamu memanggilku kanka?” ulangku dengan penekanan.
“Şey, tadinya aku mau manggil kamu salak tapi di bahasa Indonesia jadi kayak nama buah terus … ah! Bukan itu masalahnya sekarang. Kamu-hampir-bunuh-aku.”
Salak yang berarti bodoh dengan kanka adalah dua kata yang berbeda, aku memang lupa tentang Turki tapi tidak pernah lupa dengan bahasa Turki.
“Masih hampir kan?” aku memandangnya, melihat sudah banyak orang yang mengerumini kami kurasa lebih baik aku pergi, “tolong bereskan ini semua, terima kasih.”
Berjalan kembali ke apartemen membuatku menemukan banyak hal baru. Aku melihat orang-orang bersepeda motor berdempetan, perempuan dibonceng miring yang jika terserempet maka perempuan itu mati lebih dulu terlempar dari sepeda motor. Catwalk ajang pamer klakson siapa yang paling keras. Bapak yang membonceng tiga anaknya dalam satu sepeda motor, tak peduli jika tertabrak truk seluruh anaknya akan mati dan dia tidak punya ahli waris untuk mewarisi sifat ceroboh-goblok miliknya. Jalanan Surabaya ternyata lebih lucu dari hidupku.
Elevator di apartemen ini dikelilingi oleh cermin dan jalannya lebih lama beberapa detik daripada elevator lain karena tak pernah dilakukan perbaikan, tukang di apartemen ini tidak becus bekerja. Dari dalam elevator dengan pintu yang mulai terbuka aku melihat Sean sedang terduduk, menangis sesenggukan, beberapa koper dilempar keluar padanya.
“Mau dikemanakan wajah bapak buat orang rumah kalau ternyata anak bapak jadi simpenan pejabat. Bapak malu Roh!” teriak seseorang dari dalam rumah.
Sial, hari itu lagi. Hari dimana aku harus meneriaki semua petugas keamanan termasuk Sean karena mereka—bapak dan putrinya itu—bertengkar seharian penuh. Drama.
“Sean cinta sama dia Pak.” Desis Sean.