Bukan soal pengakuan cinta menyedihkannya kemarin yang membuatku bersyukur Ara tidak datang hari ini, lebih karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di hadapannya nanti.
Berterima kasih atas kue Turki yang membuatku menemukan rumah dalam selang lima menit itu? Atau meneriaki sifat kekanak-kanakannya yang dengan mudah leleh oleh senyum palsuku. Apa senyumku palsu saat itu? Aku bahkan tidak tahu lagi dengan pikiranku sendiri. Kugelengkan kepalaku, melanjutkan berjalan menuju kuliahku berikutnya.
“Akhirnya ketemu.” Kata suara lelaki. Aku membalikkan badanku, mendapati lelaki bodoh yang dibully di tempat ternajis di fakultas berdiri di sampingku sambil memegang pundakku.
Kuangkat tangannya menjauh dari pundakku.
“Aku udah cari kamu kemana-mana.” Dia berkata dengan senyum merekah, tak sabar akan sesuatu. “Terima kasih telah menyadarkanku.”
Dia menahanku ketika aku akan pergi. Ini membuang waktu. “Nanti aku juga akan menyadarkan mereka.” Lanjutnya dengan tangan masih di lenganku, “dan kamu kuundang untuk menyaksikannya.” Dia menunjukkan sorot mata yang tak dapat kubaca. Tidak ingin kubaca.
Kudorong dadanya menjauh dengan tanganku.
“Namaku Fian ngomong-ngomong.”
Whatever. Kulangkahkan kakiku tanpa memberikan kesempatan pada Fian untuk melanjutkan pembicaraannya. Aku terlambat masuk fisika inti, padahal Tika memintaku untuk presentasi mewakili kelompok. Aku tersenyum sinis mengingat perkataan Tika padaku tadi.