Hujan pertama di Surabaya tahun ini, turun sejak siang hingga senja datang. Pintu elevator terbuka perlahan ketika makhluk perempuan kecil yang hanya bisa kulihat memainkan cermin di depanku, memantulkan cahaya entah dari mana karena lorong apartemen ini temaram lalu menyiratkannya padaku.
Dengan punggung tangan aku menutup mataku yang silau. Dia sudah hilang saat kuturunkan tanganku. Lorong lantai tujuh kembali temaram. Aku benci hujan, aku lupa sejak kapan aku benci hujan.
Mungkin sejak SMP ketika aku melarikan diri ke Medan. Hujan turun sejak sore hari. Aku tidak punya tempat tinggal, terpaksa tidur di emperan toko. Kedinginan, kelaparan, aku memeluk seluruh tubuhku yang hanya memakai kaos berkerah dan celana jeans untuk mencari kehangatan. Aku menduga, hingga sekarang, karena hawa dingin aku tidak merasa ada laki-laki yang membuka resleting celanaku dan merogoh sakuku. Tangannya bergerak perlahan hingga ke pantat dan selangkanganku.
Aku menendanginya, memukulnya tapi dia mendekapku. Sekarang setelah aku besar aku berpikir berapa jumlah penduduk Medan hingga tidak ada seorangpun yang membantuku? Lupakan. Jika aku jadi mereka aku juga tidak akan membantu anak kecil menangis kesetanan karena bertemu orang asing, membuang waktu.
Setelahnya aku hanya ingat melihat bibir laki-laki itu berdarah karena tendanganku lalu aku berada di kantor polisi, simsalabim aku kembali ke Bandung keesokan harinya. Jadi, ya, kurasa aku benci hujan sejak itu.
Apartemenku terang benderang, televisi menyala dengan suara keras, dapur penuh oleh kotoran sisa memasak. Aku hampir melemparnya dengan cangkir jika saja tangan yang dibebat itu tidak memenuhi pandanganku.
“Dari tadi hujan, aku nggak bisa pulang. Dan nggak bisa ngampus.” Dia menoleh padaku sekilas. “Oh udah aku buatin kopi Turki.” Ara melepaskan sandarannya dari sofa, mengambil cangkir dari meja lalu menyesap kopi dengan asap masih mengepul di sana.
Seberapa panjang rambutnya? Kepangannya selalu rapi hingga aku tidak tahu hal itu. Matanya bersinar selesai meneguk kopi Turki. Cacat wajah berupa lesung di pipi kelihatan cocok di wajahnya ketika dia tersenyum. Jemarinya yang melingkari cangkir itu sangat rapi dan aku—brengsek. Berhenti. Aku harus berhenti.
Dia menatapku, seperti aku juga menatapnya. Ini … tidak bagus.
“Kenapa kamu masih kesini?” hanya itu kata yang bisa kuucapkan.
“Karena aku nggak punya malu mungkin.” Jawabnya lantas mengangkat bahu. “Kemarin nggak pernah terjadi. Oke?” katanya.
Tanpa menunggu aku mengangguk. Dua hari lalu tidak pernah terjadi. Tentang pengakuan cintanya itu tidak pernah terjadi. Entah apakah scene kantor polisi itu juga ada di dalam perjanjian kemarin nggak pernah terjadi.
“Aku sepenuhnya tau kalau hanya aku yang punya perasaan ini, itu udah cukup sulit dan aku mau agak egois sekarang dengan minta kamu untuk anggap kemarin nggak pernah terjadi. Lagipula aku masih ingin ke Uganda melebihi apapun.” Ara meletakkan cangkirnya kembali, “melebihi apapun.” Dia mengulangi, lebih kepada dirinya sendiri. Bisa kurasakan matanya mengikuti punggungku yang masuk ke dalam kamar.