Hujan panjang kemarin menyisakan kubangan-kubangan kecil di depan gedung apartemen. Rangga bermain dengan sepatu boot kuning barunya ditemani dengan Bapak anggota DPRD. Menginjak kubangan satu ke kubangan lain sementara si Bapak sibuk memastikan putra kecilnya tidak jatuh. Manis sekali. Tunggu sampai Rangga lebih besar dan menyadari siapa Bapaknya.
Pengamatanku selesai sampai di sini. Rangga melambaikan tangan padaku yang artinya tidak bagus. Pagi yang masih menyisakan pelangi ini tidak boleh dirusak oleh tumpukan daging seperti dia. Fakta menyenangkan: aku benci pelangi. Sama seperti aku benci ketika melihat duo anak-bapak bergandengan seolah sekarang hari terakhir mereka di bumi.
Jika kebanyakan anak kecil menangis karena permintaannya tidak dituruti aku menangis karena—entahlah. Apartemen yang kutinggali di Inggris dulu selalu bersih tanpa noda. Pemuja biologi itu jarang pulang karena menyelesaikan gelar doktornya. Disertasinya terhalang karenaku, itu yang selalu dia katakan padaku.
Kalau sepulang dari universitas—kelelahan, kedinginan, kelaparan—dia menemukanku menangis di sudut ruang tamu dia akan memukuliku, menyeretku ke kamar, mengunci kamar dalam keadaan gelap dan bersikeras untuk tidak menyalakan lampu sampai aku berhenti menangis.
“Dewa nggak bisa berhenti Baba.” Aku ingat aku selalu mengatakan kalimat itu di sela tangisanku. Aku tidak bisa berhenti menangis, aku tidak tahu kenapa, “Dewa nggak bisa …,” meskipun aku menggigit bibirku, menahan nafasku tangis itu tetap keluar malah makin keras hingga akhirnya aku bertanya lelah, “kenapa Dewa nggak bisa berhenti Baba?”
Sampai sekarang pemuja biologi itu tak pernah menjawabku. Dia tidak pernah menjawab karena dia yang selalu bertanya. Kenapa kita bisa bernafas, Dewa? Kenapa harimau dan tikus tidak bisa hidup bersama? Kenapa ada malam dan siang, Dewa? Kenapa burung bisa terbang? Kenapa. Kenapa. Jika aku tidak menjawab maka dia akan mencengkeram tanganku, “karena itu kamu harus lebih sering membaca! Jangan menangis terus!”
Dan aku mulai menangis lagi.
“Kenapa ada kucing di buku fisika?” Ara menunjuk kucing Schrödinger di dalam kotak yang ada di buku Quantum Mechanics milikku. Menjatuhkanku dari bayangan masa lalu, yang dengan sombongnya mengikutiku di belakang. Kukira bayangan adalah hal paling mubazir yang pernah diciptakan.
Aku berniat untuk mendorongnya menjauh tapi tiba-tiba aku melihat gadis di kantor polisi itu, senyumnya yang menenangkan dan kue Turki sialan itu membekas di mulutku. Aku menghela nafas. Brengsek.
“Namanya kucing Schrödinger, untuk menjelaskan paradox yang ada di mekanika kuantum.” Aku menggambar kubus yang di dalamnya terdapat kucing, “misal kucingmu kamu masukin ke dalam kotak lalu ditembakkan sebuah elektron ke dalam kotak itu. Menurutmu apa kucingnya akan tetap hidup atau mati?”
“Apa itu tembakan elektron?”
Aku menggeleng, tidak ada harapan, “satu bom atom bisa menghanguskan satu kota. Di dalam atom terdapat elektron-elektron. Sudah tahu kemana tujuannya?”
Ara mengangguk mantap, “berarti kucingnya mati? Fisikawan itu emang kejam, ya?”
“Nggak.” Jawabku. Bisa kulihat rona keterkejutan di wajah Ara, “kucing bisa dalam keadaan mati, bisa juga hidup tapi kucing juga bisa dalam dua keadaan; mati dan hidup karena selama kotaknya belum dibuka nggak ada yang tahu apa terjadi dengan kucing itu. Semua kemungkinan sama-sama penting. Seperti kata Schrödinger, ada perbedaan jelas antara foto yang goyang dan tidak fokus juga antara jepretan awan dan kumpulan kabut.”
Aku kucing di dalam kotak itu. Mereka mengira aku hidup, tapi aku mati.
“Oke, aku bingung.” Ara memencet keningnya, dia benar-benar bingung. Ara selalu melakukan itu ketika dia marah dan bingung.