“Kenapa sih suka banget sama fisika?” tanya Ara karena aku terlalu lama mengabaikannya. Fakta menyenangkan: meladeni Ara sangat merepotkan jadi ambil pilihan bagus; abaikan dia.
“Hey, aku tanya kenapa suka fisika?” dia mengguncang tubuhku karena aku tak kunjung menjawab.
Ara tidak tahu aku harus mengorek tentang Oxford dari ingatanku hanya untuk menjawab pertanyaan itu. Ketika aku mempertanyakan eksistensiku sendiri di umurku yang baru sepuluh.
Aku masih menangis di dalam kamar, kali ini dengan lampu menyala. Di ruang tamu Rynda dan keluarganya yang saat itu mengunjungiku di Oxford sedang bercanda, suara tawa terdengar hingga ke kamarku. Tangisanku makin keras. Aku benci suaraku.
Jendela kamar memantulkan bayanganku. Dengan merangkak aku mendekati jendela itu. Aku melihat diriku. Jelek. Rapuh. Menyedihkan. Dan penuh air mata. Aku benci diriku. Aku menatap diriku dalam-dalam, semakin lama semakin aku membenci diriku sendiri. Tanganku terkepal, melayang hendak menghancurkan pantulan diriku sendiri yang menjijikkan.
Hingga Rynda masuk ke kamarku. Usia Rynda sudah empat belas tahun saat itu, pertama kali ke luar negeri dan dia sangat senang. Rinda mengibas-kibaskan roknya, berlarian di kamarku lalu berhenti ketika melihatku menangis di sana.
“Kenapa kamu nangis?”
“Karena aku tidak bisa berhenti menangis.”
Rynda mendekatiku, dengan jempolnya dia mengusap air mataku, “nah, sekarang udah nggak kelihatan nangis lagi.” Katanya dengan suara lembut yang dimiliki Rynda juga senyum seenak fındık böreği yang terkadang membuatku iri kenapa bukan aku yang diwariskan senyum itu.
Sayangnya saat itu aku masih terus menangis, meski berkali-kali Rynda mengusap air mataku, “sudah kubilang aku tidak bisa berhenti.”
“Kenapa nggak bisa berhenti menangis?”
Aku menggeleng, itu yang selama ini menjadi pertanyaanku.
“Tadi om Muh menunjukkan tempat yang bisa jawab semua pertanyaan. Aku bisa membawamu ke sana, cuma aku nggak bisa bahasa Inggris.” Rynda menghela nafas. “Nama tempatnya Bodleian library.” Lalu senyum jahil Rynda dia tampakkan.
Itu pertama kalinya aku tersenyum, aku punya sepupu yang sangat lucu. Dengan tanganku aku menghapus sendiri air mataku, “antar aku ke sana, aku bisa bahasa Inggris.”
Lalu hariku dipenuhi dengan ke perpustakaan dan celotehan-celotehan Rynda mengenai orang-orang Inggris yang dia sebut mas-bule-ganteng sambil tertawa, dan memaksaku menertawai leluconnya. Rynda punya selera pria yang bagus, bahkan di saat umurnya baru empat belas tahun.
“Aku nggak sabar buat jadi mahasiswa, kalau kamu Dewa?”
Saat itu yang terlintas di pikiranku hanyalah, aku tidak sabar bisa keluar dari apartemen putih itu. “Aku nggak suka rak buku ini.” Itu jawabanku pada Rynda, karena kita berada di deretan buku biologi.
“Benarkah? Kata om Muh kamu suka biologi.”
Aku berjalan menjauh dari rak itu sebelum nafasku terasa sesak, “aku benci biologi.”
Tergopoh-gopoh Rynda menyusulku, “tapi biologi itu asyik, kata om Muh, kita jadi berteman dengan alam. Dan buku ini ah … anatomy of human skin berguna untuk …,” Rynda menepuk pundakku dengan buku yang kurasa baru dia baca judulnya, “untuk tahu apa yang harus dilakukan sama kulit kalau kena lempar buku setebal ini.”
Aku berhenti, berbalik menatap Rynda meminta jawaban apa yang membuat biologi asyik kecuali dapat memukul orang tanpa sebab hanya karena merasa menguasai satu bidang ilmu itu.