Past Infinity

Enya Rahman
Chapter #19

18

Beberapa jam yang lalu kesadaranku diangkat terbang dan Ara menjatuhkannya lagi ketika dia menggenggam tanganku. Kini setelah kesadaranku sepenuhnya pulih aku baru mengetahui bahwa Rangga duduk bersila di atas karpetku; menatapku.

Aku mengacuhkannya. Tapi Rangga malah tertawa-tawa. Apa ada yang lucu dari wajahku? Tidakkah dia ingat kehebohan yang keluarganya sebabkan tadi pagi?

Rinda sedang belajar membuat islak kek, kue brownies basah khas Turki dari Ara. Aku mencoba menikmati siksaanku mendengarkan celotehan mereka dan tawa kekanak-kanakan mereka. Sesekali kusemprot mereka. Mereka kembali tertawa-tawa.

Hingga ketukan cepat dan panik terdengar dari pintuku, Sean ada di baliknya. Menangis tak keruan, dengan kalimat terbata-bata dia berkata, “t-tolong suami saya.”

Rinda dan Ara buru-buru berlari ke apartemen sebelah. Mendapati suami Sean bersimbah darah, di sampingnya Bapak Sean memegang vas bunga dipenuhi darah. Rangga duduk di sofa melihat kejadian itu tak berkedip.

Aku limbung dan terjatuh ke belakang ketika melihat genangan darah itu. Refleks yang kulakukan pertama kali adalah muntah, menyedihkan memang. Aku muntah jauh lebih parah daripada anak kecil yang mabuk laut. Sangat parah. 

Ketika segalanya mulai abu-abu kurasakan seseorang mengenggam tanganku. Kutelengkan kepalaku, Ara, dan mataku kembali mengenali warna. Warna Ara. 

“Jangan sekarang. Kamu harus kuat oke?” katanya padaku. Seolah akulah yang paling butuh bantuan di sini.

Aku menatapnya penuh pertanyaan.

Ara melepaskan genggamanku, menyeruak ke suami Sean yang sudah tak sadarkan diri. Rinda sibuk menelepon panik. Lalu sekonyong-konyong petugas keamanan datang, mengangkat suami Sean ke rumah sakit.

Bapak Sean, Sean dan Rinda mengikuti mereka dari belakang. Ara menyaut Rangga lalu memberikannya padaku.

“Jaga Rangga, aku akan ikut ke rumah sakit.”

Oke. Harus ada penjelasan di sini. Kenapa aku, laki-laki berumur 18 tahun yang penuh muntahannya sendiri harus menjaga Rangga? Kenapa Rangga tidak ikut saja ke rumah sakit?

Ara tidak memberiku jawaban kecuali langkah cepatnya menuju elevator dan hilang.

Aku menutup bukuku. Menatap Rangga yang masih tertawa-tawa sambil mengulum lollipop di mulutnya. Kenapa mereka belum juga pulang? Akan lebih baik kalau politisi itu tidak selamat, tidak akan ada Rangga kecil pengganggu lagi.

“Kamu tau siapa Bapakmu?” kataku pada Rangga. Aku sudah tahu dia tidak akan mengerti ucapanku tapi kulanjutkan kalimatku, “penjahat kelamin. Dan ibumu penggila harta. Mereka berdua cocok. Moga-moga aja kamu nggak jadi campuran keduanya. Atau jadi, terserah. Yang penting cepat pergi dari sini begitu kamu dewasa.”

Rangga mengerjap-kerjapkan matanya.

Aku menyungging senyum di sudut bibirku. Kuletakkan bukuku di sofa. “Aku ajari satu kalimat paling bagus. Ikuti aku.” Kataku.

“Mama …,” kataku bersemangat.

Lihat selengkapnya