Past Infinity

Enya Rahman
Chapter #20

19

Aku butuh pojokku, tempat kotor yang sialnya justru menjadi tempat aku menemukan jawaban-jawaban soal tersulit sekalipun. Aku melangkah keluar kelas meskipun Pak Jono belum selesai mengajar. Bisa kurasakan tatapan anak satu kelas beserta pak Jono terhadapku. 

Tremorku hanya akan hilang jika menyelesaikan soal ini, persetan dengan nilai mata kuliah ini. Kuruntut lagi jawabanku mencari apa yang membuatnya berbeda. Langkah apa yang kulewatkan? 

Tangga berdebu yang jarang dilewati meski berada di sebelah kantor departemen. Tangga berdebu yang sering menjadi tempat pria-wanita berciuman melampiaskan gairah yang nyatanya hanya akan membuat mereka semakin haus lalu melanjutkannya di tempat kos.

Tangga berdebu milikku. Yang jika melihat dua sejoli penerus romeo-juliet menyedihkan itu akan kuusir mentah-mentah. 

Kututup bukuku dengan keras ketika tangga berdebu milikku penuh hiruk pikuk. Satu, dua, tiga, empat lelaki menutupi anak tangga pertama. Lima anak tangga di atasnya aku melihat satu orang pejantan alfa menduduki dada wanita. Dia membuka baju batik wanita. Bisa kudengar rintihan meminta tolongnya. 

Aku mendesah, tidak ada waktu untuk bermain pahlawan-pahlawanan. Aku bergerak mundur menghindari sekawanannya yang bersiap mengerubungiku. 

Kuhempaskan tanganku pada mereka, “nyewa kamar hotel kemahalan ya?” kataku sinis.

Pejantan alfa yang kuketahui sebagai presiden BEM fakultas ini menoleh padaku. Membuatku dapat melihat wanita itu dengan jelas. Rambut panjangnya lepek, mata sayunya memohon padaku, tangannya mengepal. 

Mereka mengumpatiku dengan bahasa Surabaya yang sangat kukagumi. Perbendaharaan umpatan Surabaya sangat kaya, aku suka itu. 

Jangan sentuh Anne kalian BRENGSEK!! 

Suara itu datang lagi. Aku menggelengkan kepalaku dengan keras, alih-alih mendengar umpatan loyalis presiden BEM itu telingaku dipenuhi suara kecil sialan itu.

Pergi dari sini! Abi! Abi bangun! Lawan mereka dengan karatemu, bangun! BANGUN!

Aku memundurkan langkahku, menundukkan kepalaku. Kujatuhkan bukuku karena tremorku bukan hanya menyerang tanganku tapi sekujur tubuhku. Aku kebas. Kututup mataku rapat-rapat. Berhenti bicara, berhenti.

Ketika kuangkat kepalaku aku sudah tidak berada di pojok suciku. Aku berada di ruang tamu abu-abu dengan gumpalan abu-abu di sekitarannya. Mataku mengikuti sumber gumpalan itu, seorang wanita yang familiar telentang tanpa busana, tangannya mencoba meraihku. Meraihku?

Lihat selengkapnya