Suara yang selama ini ingin kubekap dan kukurung di dalam lemari es hingga membeku dan tak kedengaran lagi menjelma di hadapanku, dalam wujud lebih dewasa. Lebih … berbeda.
Senyum yang terasa familiar, mata yang selalu menganggu karena rasa kasihannya padaku, semuanya terjawab. Aku berdiri di meja dapur, hanya beberapa meter darinya yang sedang menyiapkan sarapan untukku.
Dia bersenandung, serupa lagu Korea murahan yang selalu dia nyanyikan. Sesaat tremorku muncul, kugenggam kedua tanganku erat-erat hingga tremorku berhenti.
“Kanka.” Panggilan itu meluncur tanpa aba-aba dari mulutku. Tanpa kupikirkan.
“Ya?” dan dia menjawab dengan nada riang.
Menyadari kata yang baru saja dia ucapkan tangannya berhenti menuangkan kopi.
“Ayo main ke sungai Tigris, seperti dulu.”
Tanpa berbalik padaku dia berkata, “jadi kamu sudah ingat?”
Sudah ingat. Setelah keranjingan berkeliling apartemenku, bersikap munafik seperti sinetron Korea yang dia tonton dengan memamerkan senyumnya lalu bertingkah seolah ingin menolongku hanya itu kalimat yang dia ucapkan? Sudah ingat.
“Kalau begitu selamat karena kamu sudah ingat semua tentang Hasankeyf.” Dia berbalik, tersenyum sambil membawa dua cangkir kopi. Satu untukku, satu untuknya.
Sebuah pencapaian karena aku berhasil mengingat bagaimana ibuku diperkosa sebelum dibunuh dan kakakku dibunuh dan aku serta dia ….
Sebuah pencapaian. Kulempar cangkir kopiku ke lantai, menghambur untuk mencekiknya. Bodohnya dia tidak melawan. Kujatuhkan dia le lantai, menindihnya. Belum kukendurkan cekikanku tapi paras di wajahnya masih sama rapuhnya ketika dia pertama datang dengan membawa kotak polkadot hijau itu. Kerapuhan munafik!