Di samping peserta IPhO bermata sipit di sebelahku kami membawa spanduk, berjalan beriringan seperti sekumpulan orang demo. Lalu seorang wanita cantik berpayudara besar mengalungkan rangkaian bunga padaku. Bandara Soekarno-Hatta ramai wartawan hari ini, menyambut kami.
Aku disuruh mereka untuk mengangkat logam emas yang terkalung di leherku. Lalu aku tersenyum, menampakkan gigi-gigiku. Rynda bilang aku tidak pandai membohonginya, dia bisa tahu kapan aku benar-benar tersenyum kapan tidak. Aku punya senyum polos yang menyenangkan, katanya. Hari ini kurasa aku benar-benar tersenyum pada wartawan itu.
Dari kerumunan wartawan itu kulihat Rynda melambaikan tangannya senang, dia meloncat-loncat agar dapat melihatku dengan jelas. Mataku juga menangkap dia, berjalan cepat melewati wartawan.
Ada kelegaan luar biasa di diriku ketika kulihat dia menghilang diantara para wartawan. Seorang wartawan menyodorkan mikrofonnya padaku, bertanya, “bagaimana rasanya jadi juara umum IPhO?”
“Menyenangkan.” Kujawab seadanya.
“Waktu bendera merah putih dikibarkan di sana dan anda yang membuat itu semua terjadi, bagaimana rasanya?”
Biasa saja, peduli setan. “Merinding dan senang.”
Beberapa mikrofon mulai mengerubutiku, memisahkan jarak antara aku dan peserta IPhO lainnya. Sebenarnya bukan hanya aku yang menang, ada juga yang berhasil mendapatkan perak.
“Apa yang membuatmu suka sekali sama fisika?”