Sewaktu dia mengajari Fares tentang deret tak hingga atau infinite series aku menguping di sebelah mereka, sambil merecoki dengan kenapa 1+2+4+8+16 hasilnya -1? Fares mendorongku menjauh dengan mengatakan, “anak kecil nggak boleh tahu.”
Tapi dia memberikan kertas untukku, menyuruhku untuk menjumlahkan semua. Dengan perlahan dia menjelaskan, “infinite atau tak berhingga juga angka, angka yang tak berhingga sampai Dewa sendiri tidak bisa melihat jumlahnya. Jadi, jangan abaikan angka tak berhingga di ruas sebelah kanan dan Dewa tahu sendiri bagaimana hasilnya nanti.”
“Kalau begitu 1+1=-1 Baba?” tanyaku saat itu. Dia hanya tersenyum.
Pertanyaan itu muncul lagi, dalam soal IPhO, tidak sesederhana itu memang. Soal yang menuntutku untuk menjawab hubungan taming infinite dengan theory of everything. Secara matematis aku tahu pasti jawabanku benar. Hanya saja, aku tidak yakin apakah theory of everything benar-benar infinite karena untuk menjadi infinite kita harus mempunyai awal yang paling awal, dan ilmuwan belum menemukan awal yang paling awal bahkan tidak yakin kapan waktu berawal.
Aku duduk di ujung kiri sofa merah, memainkan kakiku sambil terus melatih pertanyaan yang kuulang dalam hati. Menurutmu taming infinite itu bagaimana? Apa waktu juga tak hingga? Sementara dia duduk di ujung lain sofa. Aku masih menunggu keberanianku datang, sepertinya tidak akan datang.
Ara memutuskan untuk ke supermarket membeli bahan kebab dan nanti kami akan makan kebab bersama, aku kesal dengan idenya meninggalkan kami berdua. Tiga setengah tahun tidak bertemu, dahulu aku tidak akan tahan duduk di sebelahnya dan lebih suka membuatnya kesal dengan tingkahku. Kini, aku tergugu, gemetar hanya dengan mendengar helaan nafasnya.
“Baba bertemu dengan Anne ketika dosen Baba mengajak ikut penelitiannya mengenai botani di Hasankeyf, waktu itu pemerintah Turki belum memutuskan untuk mengubah Hasankeyf menjadi waduk besar.” Dia memulai pembicaraan dengan nada hangat, dari sudut mataku kulihat dia memandang foto keluarga yang ada di depanku.
“Tiga bulan Baba di sana, dan Anne tidak bisa mengalihkan matanya dari Baba. Semua perempuan suka melihat lelaki dalam jas putih laboratorium, hukum itu berlaku sampai sekarang.” Dia tertawa sesaat, tawa yang lama tak kudengar. Masih sama seperti di Hasankeyf dulu, hangat dan penuh kecerdasan. “Baba tidak terlalu romantis jadi ketika hari terakhir Baba di Hasankeyf tiba Baba mengatakan bahwa tiga bulan lagi Baba kembali dan kita akan menikah.
“Jagat raya sepertinya suka dengan ide seorang lelaki yang baru mengambil doctor menikahi perempuan desa terpencil dengan mimpi memunyai keluarga bahagia. Baba bahagia dengan pilihan Baba.”
Maaf karena aku membuatmu susah dua bulan belakangan, maaf dengan sikapku selama ini, maaf— “Aku ambilkan air putih.”
“Satu-satunya pertengkaran hebat yang terjadi antara Anne dan Baba waktu menentukan namamu.” Dia masih terus bercerita, aku tidak ingin mendengar cerita yang hanya membuat perutku melilit dan menyesakkan nafasku.
Sengaja kutuangkan air putih ke gelas dengan perlahan, berada di dekatnya membuatku tidak nyaman. Tidak seperti di bandara dulu aku kehilangan percaya diriku, dia menyerapnya. Aku tak bertenaga bahkan untuk marah padanya, aku merinding.
“Nama Fares dipilihkan Anne jadi Baba ingin menamaimu tapi Anne bersikeras untuk menamaimu Abdul Syailendra. Baba tidur di sofa malam itu sampai Baba menemukan nama yang bagus dalam bahasa Indonesia. Dan Anne setuju, katanya terdengar menggelikan di telinga orang Turki tapi Anne suka arti namanya.”
Aku membayangkan diriku tinggal di Hasankeyf hingga sekarang, betapa nama tengahku menjadi penyulut utama olok-olokan teman-teman sekolah. Itu, mengerikan.
“Tell me about infinite series.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, detik berikutnya merutuki diri karena menanyakan hal sepele itu pada professor biomolekuler.