Mata orang-orang cerdas selalu mempunyai sorot yang berbeda dari orang kebanyakan. Hal kecil itulah yang membuatku mudah menemukan sosok beliau diantara kerumunan orang di bandara Juanda.
Beliau berdiri dengan tas ransel laptop anti air yang sangat penuh. Menggunakan celana jeans abu-abu serta kaos berkerah. Badannya tegap, wajahnya tegas dengan banyak sisa ketampanan masa mudanya. Dari kaki ke badan menunjukkan beliau masih berumur di sekitaran 30 tahun. Hanya rambutnya yang mulai menipis dan memutihlah yang menunjukkan umur beliau yang sebenarnya; 51 tahun.
Aku segera berlari mendekati beliau. Beliau tersenyum mengenali.
“Saya Ara, Om. Lama nggak bertemu om.” Kataku seraya menjabat tangannya.
“Vivian tambah cantik.” Rasanya asing mendengar nama itu, Vivian. Dalam kepala om Muhammad aku adalah Vivian kecil kawan Dewa. Kawan yang tak setia.
Tanpa basa-basi om Muhammad merangkulku. Kami berdua berjalan sambil bernostalgia tentang Turki dan kerinduan akannya.
Sepanjang perjalanan menuju apartemen Dewa aku berusaha membuka pembicaraan namun kata-kataku menguap sebelum kuucapkan. Aku mengetuk-ketukkan tangan di setir mobil mencari kesibukan, mataku tertuju pada jalanan Surabaya yang mulai padat.
“Kuliah Vivian bagaimana? Lancar?” Tanya om pada akhirnya.
Aku tersenyum, “lancar om.”
Hening kembali untuk waktu cukup lama.
“Katanya jurnal om sering masuk Elsevier ya om? Keren om, kalau Ara suka sama biologi Ara pasti sudah jadi penggemar berat om.” Setelah mengatakan itu aku mendesah nafas putus asa, ini menyedihkan.
Dari spion depan aku melihat om tersenyum dengan usaha kerasku.
“Ara nervous ketemu om.” Akhirnya aku mengakui.