Aku ingat, aku sedang memperhatikan Dewa dari balik pintu perpustakaan ketika om Muhammad meneleponku untuk meminta bertemu dengan Dewa.
Dewa baru saja pulang dari Swedia, mata cokelatnya terlihat sibuk memilih buku lalu mengumpat cukup keras dalam bahasa Inggris karena tidak menemukan buku yang dia cari. Aku tersenyum. Sejak Dewa ingat tentang Turki kami tidak pernah lagi bertemu. Dia ingin kami tidak bertemu.
Melalui rak-rak buku aku bisa melihat mata seriusnya membaca tiap judul pada punggung buku. Badannya selalu bungkuk sambil memainkan jari telunjuk dan jari tengahnya, itu kebiasaannya jika akan marah. Sebentar lagi akan ada orang tidak berdosa yang merasakan kemarahan Dewa Syailendra.
Melihatnya kembali melakukan kebiasaan itu membuatku lega. Aku baru saja akan pergi ketika ponselku berbunyi. Layar ponsel menunjukkan nama om Muhammad.
“Halo, om. Apa kabar?”
“Baik Vivian,” suara bariton berat itu kalau saja tidak terdengar kedewasaan dalam suaranya maka itu akan jadi suara milik Dewa, “apa Vivian bersama Dewa sekarang?”