Aku segera menepikan mobilku ketika kudengar suara isakan dari sebelah tempatku duduk. Alih-alih menoleh dan mengatakan sesuatu yang menenangkan aku justru memalingkan wajahku, menatap deretan toko yang berada di hadapanku. Kucengkeram setir mobilku sambil berusaha tetap menatap toko yang menjual furnitur kayu di depanku.
Dulu ketika Mama dan Papa memutuskan berpisah aku menangis seharian di ayunan yang dibuat om Muhammad untuk Dewa. Ayunan di bawah pohon di tepi sungai Tigris. Aku menangis sambil mempercepat ayunanku, semakin cepat semakin cepat. Ketika aku lelah dan berhenti kudengar suara seseorang.
“Mau aku dorong ayunanmu?”
Dewa, entah sejak kapan ada di sebelahku, bersandar pada batang pohon. Dia tersenyum dan bertingkah seolah aku tidak sedang kacau karena menangis. Yang kulakukan saat itu hanya mengangguk.
“Kalau mau lebih keras badanmu harus seperti orang tidur.”
Sekarang ketika mengingat itu aku berpikir bagaimana bisa anak umur delapan tahun tahu tentang cara mempercepat ayunan dengan benar. Tapi toh saat itu aku melakukan seperti yang dia katakan. Menyejajarkan diriku, memandang langit yang saat itu berwarna abu-abu.