Kami sedang berada di dalam lift menuju lantai tujuh. Lift dengan cermin di sekelilingnya ini membuatku ingin berada di belakang dunia cermin, bersembunyi sementara om Muhammad dan Dewa melakukan nostalgia mereka.
Om Muhammad menautkan tangannya pada jemariku, mengenggamnya. Aku membalas genggaman itu. Aku teringat Mama yang ada di Uganda. Semua orang tua punya genggaman yang sama, hangat dan menenangkan. Aku tersenyum.
“Terima kasih sudah menemani Dewa beberapa bulan ini, Vivian.”
“Tidak, terima kasih karena om mau bertemu dengan Dewa dan sebaliknya.”
Karena percaya atau tidak mereka adalah dua kutub yang tidak bisa dipisahkan. Dewa hidup atas kemarahan pada biologi, ironi yang membawanya menjadi pemenang IPhO. Om Muhammad hidup dengan melangkah menjauh dari Dewa namun satu langkah maju membuat om mundur lima langkah. Mereka saling menarik dengan teknik yang berbeda.