“Mbak?” suara kasir hypermart membuyarkan ingatanku tentang Hasankeyf.
Aku mengambil tiga lembar uang seratus ribu untuk membayar semua barangku. Daging, bumbu kebab instan—aku sedang tidak ingin bereksperimen dengan keahlianku memasak kebab ketika mengingat rasa masakan Anne—dan setengah kilo kacang walnut. Sambil menunggu kembalian dari kasir yang berumur di awal dua puluhan ini aku memalingkan wajahku.
Di sebelahku ada seorang anak lelaki yang merengek pada ibunya meminta es krim seperti milik kakak lelakinya. Si kakak menjilat es krim itu dengan kecepatan luar biasa lalu cepat memberikannya pada si anak lelaki itu. Ketika anak lelaki itu senang karena es krim sudah di tangannya si kakak mengeluarkan tangan kanan yang sedari tadi dia sembunyikan di balik punggung, es krim yang masih utuh. Lalu kakak lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.
Hari ini otakku berputar sangat cepat untuk menyatukan kepingan-kepingan Hasankeyf. Di tepi sungai Tigris, sepulang sekolah ketika Fares mengajarkan Dewa deret tak hingga. Dengan buku tulisnya Fares menggambarkan gajah.
“Jadi misalkan ada gajah, lalu anak gajah, bayi gajah, gajah seukuran domba, gajah seukuran anjing, gajah seukuran anak anjing—”
“Tidak ada gajah seukuran anak anjing Abi.” Dewa memotong pembicaraan.
“Kau ini, ini namanya pemisalan.” Dengan pensilnya Fares memukul kepala Dewa.
Dewa meringis tapi bersikeras, “pemisalannya aneh.”