Melalui langit merah Hasankeyf yang terpantul dari Tigris yang jernih aku melihatmu di senja terakhir kala itu. Kamu sibuk memikirkan cara membuat pelangi palsu dengan senter yang kamu bawa sementara aku sibuk menangis karena lusa papa akan membawaku kembali ke Indonesia.
“Hepsi iyiler.” Semuanya akan baik-baik saja, katamu. Meski kepalamu tetap menunduk dan dengan kesabaran mengutak-atik senter itu.
Aku memang baik-baik saja tapi tidak Mama dan Papa lalu mengingat Mama dan Papa membuatku tidak baik-baik saja.
“Bir şey söyle,” kata Dewa ketika aku tetap menangis. Katakan sesuatu. Apa yang harus aku katakan pada Dewa? bahwa aku senang dua tahun ini mengenalnya? Bahwa pelangi palsu, berayun sejajar dan sebutan kanka adalah bahasa Turki pertama yang dia ajarkan untukku tidak akan aku lupakan sepanjang hidupku?
Kanka. Dewa memilih kata itu dari semua kata dalam bahasa Turki dan sejak saat itu kurasa aku merasa selalu mengorbit di sekitarnya dan tak bisa menjauh.