Ada satu hal yang kupikirkan sepanjang tali hidupku sejak di Hasankeyf. Bagaimana jika aku menolak ajakan Dewa untuk pergi ke Istanbul? Perampok itu mungkin saja tetap datang tapi aku tidak akan tenggelam terlalu jauh. Terlalu jauh mengenal Dewa, terlalu jauh merasakan pelukan terakhir om Muh, terlalu jauh sampai aku mengikuti Dewa masuk ke universitas yang sama.
Rynda masih menangis di pelukanku. Aku juga ingin menangis sungguh, aku ingin berlari dari hadapan Rynda, mencari pojok sepi untuk kemudian menghabiskan seluruh dayaku di sana. Tapi demi Rynda, demi Dewa dan demi seorang sahabat yang baik aku tidak boleh menangis.
Aku menenangkan Rynda dengan berkali-kali membisikkan, “tidak apa-apa Ryn.” Tidak ada yang tidak apa-apa di sini. Kenapa kalimat itu selalu jadi senjata pamungkas untuk menghibur seseorang?
Rynda mencengkeram leherku, melepaskan berat tubuhnya padaku. Aku hampir terjatuh jika saja tidak ada dinding di belakangku. Sesuatu dari rumah sakit, baunya selalu membuat orang tidak nyaman. Selain itu rumah sakit adalah tempat terakhir aku bertemu Dewa di Hasankeyf, ketika dia tiba-tiba berhenti bernafas lalu om Muh sangat panik dan melarikannya ke sana.
Aku menunggu Dewa yang belum sadar—bahkan ketika Dewa tak sadarkan diri dia masih tetap menangis—bersama om Muh dan Papa. Tidak ada yang bicara hanya bau rumah sakit yang mengintervensi. Dan itu cukup mengerikan.
“Ini salahku Ar, harusnya aku nggak memaksanya bertemu om Muh.” Rynda mencengkeram leherku makin erat, tanpa sengaja tangannya menarik kepangan rambutku, membuatku pusing. Dengan tangan bekas terkena darah aku mengelus punggung Rynda, sangat hati-hati.
“Tidak apa-apa Ryn.” Aku benci karena hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan.
Tidak apa-apa Ara. Aku membisikkan kata itu untuk diriku, tidak apa-apa.
Setelah ratusan kali mengatakan itu aku merasa sedikit lebih baik, setidaknya aku tidak menangis di depan Rynda.