Menurut Ayah Rynda om Muh ingin dimakamkan di Surabaya, tempat kelahirannya. Tidak ada hujan di pemakaman om Muh, matahari bersinar sangat terang dan pengganti hujan ada banyak flashlight yang menjadikan pemakaman ini konsumsi publik. Ilmuwan yang suka memukuli putranya tewas bunuh diri. Betapa itu jadi berita menghebohkan.
Rynda memilih untuk menunggu di mobil. Di balik kacamata hitam yang kupakai aku menutup mataku sepanjang pemakaman, pilihannya adalah menutup mata atau menangis. Maka aku memilih pilihan pertama. Dalam keadaan ini aku bersyukur Dewa masih di rumah sakit.
Kemungkinan Dewa akan kembali seperti di Hasankeyf dulu menyentakku dan membuatku ingin menahan Dewa di rumah sakit selamanya.
Bagian tersulit lainnya ketika menyadari bahwa cepat atau lambat salah satu dari kita harus memberitahu pada Dewa. Aku tidak ingin jadi salah satu orang itu. Alih-alih melihat perkembangan Dewa di rumah sakit yang dilakukan Papa dan Rynda aku menghabiskan waktuku membersihkan bekas darah di apartemen Dewa.
Aku sudah menyewa orang untuk membersihkannya karena darah ini menguarkan aroma memusingkan untukku tapi aku tetap melakukannya bersama orang itu.
Menggosok-gosok dengan air, sabun lalu air lagi. Menyemprotnya dengan pewangi ruangan. Ketika orang yang membersihkan darah telah pergi aku mengulangi langkah pertama. Aku masih mencium baunya di hidungku, bercampur dengan bau darah di Has Bahçe.
Aku menghela nafas, berhenti sejenak sebelum membukakan pintu yang sedari tadi diketuk perlahan. Sean berdiri di balik pintuku, membawakan kue kering; bukan kebiasaan orang Indonesia terutama di lingkungan apartemen membawakan tetangganya kue kering.
“Ayahku membawakan ini, karena terlalu banyak aku ingin membaginya dengan tetangga.” Katanya menunjukkan piring penuh kue kering itu. Sean tersenyum, sepertinya lupa kalau Dewa pernah menyiramnya dengan air seperti yang dilakukan Dewa padaku.